CO PATRIOT XII  #SuroSundangMajapahit III

CO PATRIOT XII #SuroSundangMajapahit III

Gati Andoko
7 November pukul 21.33
CO PATRIOT XII
#SuroSundangMajapahit III

Oleh: Gati Andoko

Jari jari lentik Ningsih seolah memainkan dawai “siter” tembang “gambuh” ketika memeteik daun cam cau yang tumbuh lebat di pagar halaman rumah. Memilah mana daun yang dibuang, memetik menaruhnya dalam tenggok daun hijau beludru dan membiarkannya daun agar hidup menjalar memenuhi pagar. Enam pupuh tembang “gambuh” selaesai disenandungkan. Tenggok ukuran sedang juga penuh dengan daun cam cau.
“ Ojo lali ‘nangka sabrang’ (buah sirsak) kanggo Wien Nio ya nduk”, pesan simboknya Ningsih.
Sengaja. Ningsih tidak memberi tahu Atmo, Mardi, Han Han dan Kholili pulang karena kangen dengan simboknya, lebih dari itu ingin memenui Wien Nio yang cukup lama ditinggalkannya.Tentu saja tidak diijinkan mengingat lembaran lembaran kertas bergambar sketsa wajahnya masih terpampang di papan pengumuman dan tertempel pada beberapa tembok rumah sepanjang pecinan Muntilan. Sepertinya Ningsih sudah terpengaruh dengan kelak kelok jalan hidup Atmo, Mardi, Han Han, Kholili terutama Rambat yang suatu ketika nanti mejadi penyeimbang hidupnya.
“Nduk, coba slendang “udan liris” iki kanggo kudung”. Ningsih mebiarkan simboknya mengerudungkan selendang sambil terus menatap kerut wajah simbok yang mulai tampak garis garisnya.
“Ayu tenan anakke simbok, persis kaya mbah Putri swargi”, kata sombok dan membuat Ningsih tersipu.
“Simbok luwih ayu timbang aku”, kata Ningsih sambil mencium kedua pipi simbok dan memeluk erat tubuhnya.
“Ssssssttt…..anakke simbok ora oleh nangis”. Begitulah seorang simbok, tanpa ada isak tangis juga tanpa air mata menetes sangat merasakan kalau anaknya sedang menangis. Sakitnya saat melahirkan, lebih berat jika anaknya menderita sakit. Tangis bertahun tahun tidak berarti saat setetes saja air mata keluar dari anaknya. Itulah simbok.
“Ah simbok ki, sapa sing nangis”, elak Ningsih dan melepaskan pelukannya. Simbok dengan senyum yang sangat dalam menatap wajah anaknya yang sedang menyembunyikan tangisnya. Ningsih dan simboknya hidup berdua. Bapak Ningsih ditembak mati di depan mata simbok saat menolak untuk dijadikan pekerja paksa (Romusha), juga kakak lelaki hingga sekarang tak diketahui keberadaannya saat diseret paksa sebagai “Romusha” juga tahun 1943.
“Ojo gawe bingunge wong liya, sakdurunge kanca kancamu tekan omah kene, sakbisane ndisiki”,pesan simbok sambil tangannya memasukkan beberapa lembar uang ORI ke kantong rok Ningsih. Berangkat Ningsih menggendong setenggok daun camcau dah dua buah “nangka sabrang” (sirsak) berbekal keteguhan dan keperkasaan simboknya sebagai pusaka yang menyatu dengan tubuh, hati dan pikirannya. Tak lupa, selendang “udan Liris” yang dipakai tidak sebagai kerudung yang sungguk mempercantik wajahnya namun juga sebagai alat menyamarkan wajahnya jika perlu. Menerabas perbukitan gunung Gendhol turun melewati desa Jumoyo hingga pangkalan dokar dan andong dekat setasiun Tegalsari. Dengan menaiki andong satu ekor kuda bersama penumpang lain Ningsih ke Muntilan tengah hari. Sempat siaga dan menutupi wajahnya dengan selendang saat lewat jembatan Blingkeng, andong yang ditumpangi terpaksa menepi disalip oleh truk dan mobil berisi sepasukan tentara Belanda dari arah timur. Aman!

“Nyah, cam caunya nyah”, dengan suara yang disember semberkan. Ningsih sedikt menutupi wajahnya menawarkan cam cau didepan depot es yang bangku bangkunya penuh terisi pembeli. Wien Nio dan papah mamahnya keheranan, tidak biasanya ada ornang yang menawarkan cam cau. Kalau benar dia pemasok daun cam cau pastilah langsung masuk menemuinya, siang hari lagi. Akhirnya tak dihiraukannya tawarannya.
“Nyah, cam caunya nyah”, suaranya semakin sember dan lebih keras. Masih saja dihiraukannya.
“Cam caunya nyaahhh, ranum dari Kangkungan”, suara nyaris bindeng (sengau) dan keras membuat pembeli yang tengah duduk menegok kearah Ningsih. Sadar telah membuat banyak orang memperhatikannay, Ningsih berbalik meninggalkan depot es. Menyeberangi jalan.
“Yu mbak yu, tunggu”. Tanpa menoleh dan melihatnya pastilah itu suara Wien Nio. Wien Nio demikian juga, meskipun melihat bagian tubuh bagian belakang sudah dipastikan adalah Ningsih. Wien Nio menyeberang jalan menhampiri Ningsih yang membelakanginya.
“Ini cam cau dan “nangka sabrang” dari simbok”, kata Ningsih pelan. Wien Nio menerima dan langsung balik masuk depot. Tak seberapa lama Wien Nio menghampiri Ningsih dan mengajaknya jalan ke selatan sebelah timur pasar dan masuk jalan sempit dusun Tegal Slerem.
“Aduh Ningsih kok berani beraninya ke Muntilan sendirian”, kata Wien Nio sambil jalan mencari tempat sepi.
“Nanti aku ceritakan”, kata Ningsih mengikuti Wien Nio mempercepat jalannya. Sampailah bawah pohon klengkeng besar pinggir sungai kecil. Tertawa tawa melepas rasa saling merindukan diantara keduanya. Ningsih bercerita bagaimana mengelabuhi Atmo, Han Han, Mardi dan Kholili. Disampaikan juga salam dari simbok unutk Wien Nio. Yang pasti seru diceritakan juga kejadian haru biru, rasa anyel sekaligus lucu di desa Ngawen dan pertempuran kali Blongkeng hingga lengan tangan Han Han tertembak, Mardi di perutnya yang nyaris menembus usus lambungnya hingga istirahat panjang di Babar Asri Kalibawang.
“Kasian Mardi”, kata Wien Nio yamg Nampak berubah rona wajahnya.
“Kok Mardi, ehmmmm….”, Ningsih tak melanjutkan.
“Bagaiman kang Rambat?’, tanya Wien Nio.
“Lhah belum njawab kok malah tanya, kenapa kok Mardi?’. Ningsih mengulang pertanyaan. Dijawab Wien Nio dengan cubitan. Ningsih tertawa ngledek. Akhirnya Wien Nio mengaku kalau sebenarnya suka dengan Mardi, hanya tertutup oleh balok es setebal tembok China.
“Tinggal nunggu sinar matahari, nanti kan mencair wekkk”, canda Ningsih. Kembali Wien Nio mencubit Ningsih lebih kenceng dan belanjut menggelitiki Ningsih. Ningsih tertawa kegelian dan menyerah tidak akan menggoda lagi. Ningsih juga mengaku kalau sebenarnya ia menyukai Atmo yang dewasa kebapakan, mengingatkannya pada mendiang bapaknya.
“Ini kalau jikalau lho ya, bener bener jadi berarti kita kakak beradik yank an mbakyu?’. Terbahak tawa mereka berdua.
“Kita senasib, menyukai namun memiliki adalah keniscayaan”, kata Ningsih. Kembali tawa berdua meledak.
“Eh Ningsih, kira kira mereka laki laki membicarakan kita perempuan ndak ya?, tanya Wien Nio.
‘Aach, sebel….yang mereka bicarakan hanya sinden Sukati. Ituuu senden Sukati tikilikilikkk”, jawab Ningsih sambil kedua tangan ngilik ilik kedua susu Wien Nio. “ Jorooooookkkkk”, teriak Wien Nio. Tawa jongkok menahan pipis (kencing). Berdua lari turun ke sungai kecil buang air kecil.
“Celana dalammu terbuat dari kulit kambing ya, kok sepertinya kesulitan?’, tanya Wien Nio lugu tak bermaksud bercanda.
“Hiks, nganu kesrimpet eh…kolor hampir putus, harus hati hati”, jawab Ningsih sambil mringis mringis saat mau jongkok.
“Nanti ganti punyaku”, kata Wien Nio tulus. Selesai pipis (kencing). Ningsih masih nampak hati hait ketika menaikkan celana dalamnya. Wien Nio mengajak Ningsih memasuki los los pasar yang sudah mulai sepi. Sekedar mengingat tampat belajar hidup Atmo, Mardi, Han Han. Kholili dan Rambat.
“Aku kok sepertinya melihat pistol kang Rambat, dibawa seorang serdadu pejuang ya”, kata Wien Nio. “Ini yang aku cari”, batin Ningsih. Wien Nio berkeluh kesah dengan keadaan kota Muntilan sekarang ini. Disamping Belanda yang tak henti hentinya membuat ketakutan warga, masih adanya orang antah berantah juga kedatangan perempuan perempuan nakal di sekitar setasiun terutama malam hari. Mamah dan papah Wien Nio melarangnya keluar malam.
“Siapa itu, orang yang membawa pistol kang Rambat?’, tanya Ningsih.
“Yaitulah, biasanya dengan dua temannya keliaran di setasiun malam hari, centengnya barangkali”,jawab Wien Nio. Ningsihpun jujur bahwa sebenarnya tujuan kemari ingin mencari tahu dimana pistol kang Rambat semenjak dirampas oleh tentara Belanda waktu itu.
“Kang Rambat lebih memilih pistolnya dari pada aku”, keluh Ningsih.
“Kapan mau pulang ke Kangkungan?’, tanya Wien Nio. Ningsih Nampak males menjawabnya. Wien Nio paham, bahwa Ningsih pasti memegang kuat kemauannya, tidak berhenti sebelum keberhasilan diraihnya.
“Aku bantu”, kata Wien Nio yakin. Keduanya berhadapan, tinggi besarannya sepadan, umurnya sepantaran hanya warna kuit yang berbeda. Berpelukan. Hanya karena saking semangatnya ingin saling memeluk diantara keduanya justru buah dadanya yang sama sama belum selesai tumbuh berbenturan keras. Sama sama kaget, terbelalak mata dan menjerit , “Aaaauuuusyu….! Berlari. Berkejaran. Dua anak bangsa tanpa peduli orang melihatnya di pasar yang terus mengiang kumandang tembang Maskumambang.

Malam hari.
Keramaian Tobong Kethoprak pasar bergeser ke setasiun. Tidak ada lagi pertunjukan Kethoprak yang menawarkan kebajikan melainkan tawaran kenikmatan secepat kedipan mata. Judi “ciliwik” marak sepanjang rel kereta di kedua seberang. Pengasong tidak hanya menawarkan rorkok, namun juga candu ditawarkan secara terbuka. Kedai kedai mengellilingi area parkir setasiun menawarkan jajanan matang siap disantap sekaligus menawarkan “daging mentah” dibungkus sejengkal kain yang siap disantap juga sebagai hidangan penutp. Calo calo pemakan sabun begitu licin menawarkan pemilik “daging mentah’ yang matanya sudah mengeluarkan sperma, berikut janji jani surga. Sungguh keramaian seluas celana, namun jelas lebih ramai dibanding Tobong Kethoprak. Ramai pengunjung, maksudnya. Tiga orang sudah mengganti baju pejuangnya dengan baju bak “jawara” lengkap dengan ikat kepala namun bersepatu “lars” lungsuran (bekas) pemberian Belanda. Meminta, menagih uang pada penjaja dan rajanya (pembeli). Satu tiga orang itu, salah satunya membawa pistol Rambat. Bagaimana sampai ditangannya tidak diketahui oleh Wien Nio.
Sudah melewati tengah malam. Tak kunjung sepi. Keluar masuk para penikmat “daging mentah” masih silih berganti; laki laki kulit putih, kuning, sawo matang hingga yang legam. Ningsih dan Wien Nio yang sembunyi menunggu kesempatan terbaik sudah sangat mual dengan pemandangan yang mereka lihat. Barulah ketika para pedagang pasar Muntilan mulai dengan kesibukannya, setasiun benar benar sepi, berganti satu dua orang para petugas setasiun dan beberapa pengantri tiket kereta mulai berdatangan. Tiga orang berbaju jawara tengah berbicara dengan dua tentara Belanda sambil menghitung uang, Kedua tentara Belanda itupun tak seberapa lama pergi. Ningsih yang sudah sangat jengah dan mual nekat menghampiri ketiga orang tadi, meninggalkan Wien Nio sendirian. Selendang “udan liris” terikat kuat dipinggangnya. Berlagak sebagai penjual “daging mentah” kepagian, Ningsih mendekati ketiga orang.
“Kereta ke Jogya Jam berapa pak?”, tanya Ningsih. Ketiga orang itu terperanjat kaget melihat kedatangan perempuan muda yang pahanya wangi daging kijang panggang. Dasar Ningsih bukan pemain kethoprak, sekilas saja tiga orang mengamati ketahuan siapa perempuan yang ada didepannya. Dengan beringas ketiga orang itu mendekap Ningsih membawanya masuk ke dalam gudang setasiun. Sahwat tawa ketiga orang itu memenuhi gudang.
“Cantik juga buronan ini”, kata salah satunya.
“Saya itu cuma kebetulan lewat saat kejadian itu, sungguh pak saya tidak berbohong”. Ningsih yang masih mencoba bersandiwara tetap tidak meyakinkan. Ketiga orang itu mengepungnya.
“Ini mau apa?’, tanya Ningsih.
“Begini saja, layani kami dan kasih tahu dimana teman temanu berada, saya jamin kamu bebas”, kata salah satunya lagi. Si pemegang pistol Rambat menunjukkan pistolnya.
“Melayani tiga orang sekaligus, goblok, mana bisa, lagi pula malu aku”, kata Ningsih mulai ngawur.Mengangguk angguk dan senyam senyum si pemegang pistol Rambat menyuruh kedua temannya keluar.
“Sssssttt…pertama, kedua, ketiga sampai kelimapun rasanya sama, kali ini aku yang pertama”, bisik si pemegang pistol dan lantas mengunci pintu gudang dari dalam. Meletakkan pistol, mendekati Ningsih sambil membuka celana dan mendekap Ningsih yang cuma diam. Ningsih dengan lututnya menendang keras dua telur kepala bulus yang tengah mengencang. “Huaaaghh”, pekiki jeritnya hingga terdengar dua temannya diluar.
“Hahaha…kok mung mak crut”, ledeknya. Masih mengerang kesakitan, Ningsih kembali menghantamkan lututnya kearah dagu. Kembali suara pekik jerit,” Hwaaahhhh”.
“Gantiaaaan”, teriak yang di luar. Si pemegang pistol Rambat tidak berdaya namun matanya tetap saja melotot saat Ningsih mengangkat roknya. Konyol juga Ningsih sok bersandiwara, pelan….. seinci demi seinci menaikkan roknya keatas. Clurit Kholili yang diikat benang rami di bagian dalam pahanya terlihat dan dicabut, dibabatnya leher pemegang pistol Rambat. Tak keluar suara dari mulutnya. Dua orang yang diluar juga tidak bersuara. Ningsih memasukkan clurit ke dalam “rangka” yang masih terikat di pahanya. Dan mengambil pistol Rambat dan bersiap membuka pintu menembak dua orang tersisa. Namun begitu buka dan siap menembak, dua orang itu sudah terkapar dengan anak panah dileher, sedang satunya tepat jantung.
“Ningsih, cepat lewat sini”, teriak Wien Nio dengan busur panah dan anak panah tersisa.

Wien Nio pamit kepada papah mamahnya mau sepedaan dulu sebelum depot dibuka.Dengan sepeda diantarnya Ningsih sampai setasiun Tegalsari. Sepeda melaju cepat. Ningsih yang baru pertama kali membonceng sepeda canggung dan ketakutan, teriak melulu, selendang “udan Liris untuk menutupi matanya hingga berhenti setasiun Tegalsari.
“Ini tiga potong celana dalam buat ganti, kali kali pedot da tengah jalan”, kata Wien Nio yang masih belum tahu kesulitan Ningsih saat pipis kemarin. Ningsih merasa geli sendiri.
“Makasih Wien Nio, ndak sekalian main ke Kangkungan? Ningsih.
“Aduh Ningsiiihhhh, Rambat wedok, aku dah bohongi papah mamah, kapan kapan ya”, jawab Wien Nio.
“Salam buat Mardi ndak?, goda Ningsih.
“Ndak ah, buat koh Han Han saja, ehhh semuanya ding sama salam buat simbok, makasih untuk cam cau dan nangka sabrangnya”, jawanya. Wien Nio membalikkan sepedanya dan mengayuh sepeda dengan cepat. Ningsih kembali menyusur jalan jalur pemberangkatan kemarin, berharap Atmo, Han Han, Mardi dan Kholili masih di Probolinggo. Kalau terlambat ya apa boleh buat, siap siap dimarahi Kholili tentu saja. Apa lagi kalau bukan clurit. Yang penting pistol Rambat sudah ditangannya dan selendang “udan Liris” masih ututh. Tak sampai satu jam Ningsih sampai di rumah. Kholili gelisah, Mardi disamping Atmo yang sedang ditangani ole Ami dan Hadi Saleh dari desa Nabin, Yani berdiri menyandarkan tubuhnya pada tiang rumah dan tak melepas pandangan kepada Atmo. Han Han membantu simbok di dapur.
“Ningsih, ko endi koen, gae bingung ae, ngerti cluritku tah?’, tanya Kholili dengan tingkah gelisah.
“Bener cocok sama Rambat, ngeyelan ndak bisa dibilangi”, kata Han Han. Simbok hanya tertawa melihat anak gadisnya dimarahi teman temannya. Mardi ikut gabung Han Han didapur diikuti Kholili sambil menunggu jawaban Ningsih yang langsung masuk kemar tidurnya.
“Wisk ono guyonan, simbok tak numpang nutu gabah nag tangga sebelah”, kata simbok keluar dari dari dapur.
“Ini lho cak clurit sampeyan, ketinggal nang kakus’, kata Ningsih sambil melempar clurit kepada Kholil. Kholili menangkap dan langsung mengeluarkan clurit dari rangka kulit sapi dan mencium clurit. Terperanjat kaget terkunci mulutnya. Ningsih merasa bersalah pada Kholili telah menggunakan cluritnya dan menjelaskan semua kejadiannya. Hanya saja Ningsih tidak menjelaskan bagamana membawa clurit itu.
“Jyancuk…kudu pasa telung dina “. Kholili sudah tidak marah marah sambil terus memiling miling cluritnya telah kembali, itu yang terpenting, Tak sadar rangka kulit sapi direbut Han Han dan menciumnya.
“Kok bau wangi paha kijang panggang ya, huhmmm…”. Han Han. Ningsih senyam senyum
“Dudu tah, tapi ambu peceren ngene”, Kholili yang penasaran. Gantian Mardi jadi penasaran ikut menciumnya juga. Ningsih mulai cemberut denga kata kata Kholili.
“Kok peceren, ini jelas bau “jumbleng kakus”, kata Mardi. Ningsih berteriak memanggil ‘ simboookk! Dijawab simbok dengan teriak pula ;” Iya bener, iki jumblenge lagi arep tak tutup nganggo godhong pisang”.

#Bersambung.



Advertisement

Baca juga:

Blogger
Disqus
Pilih Sistem Komentar

Tidak ada komentar