CO PATRIOT XI  #SuroSundangMajapahit II

CO PATRIOT XI #SuroSundangMajapahit II

CO PATRIOT XI
#SuroSundangMajapahit II

Oleh: Gati Andoko

Hari masih siang. Matahari baru bergeser sedikt kebarat diatas kepala. Tidak banyak warga yang dating membantu pemakaman pak Suro, terhitung hanya belasan saja. Yani memangku bagian kepala bapaknya, sampingnya Atmo, Mardi, Kholili dan Han Han bagian kaki. Beberapa orang dengan menggunakan ember mengambil air suangai Jlegong. Seorang perempuan tua dengan gayung tempurung kelapa mengguyurkan air pada tubuh pak Suro. Tidak ada kain kafan untuk mengkafani pak Suro. Hanya sisa sobekan kain kafan mendian istri pak Suro dan robekan baju warna putih. Tidak ada selamatan serta upacara pemberangkatan jenazah bahkan tak pakai keranda. Atmo, Han Han, Mardi dan Kholili membopong hingga liang lahat yang sudah disiapkan warga tak jauh dari gundukan tanah makam Ki Demang Gulon.
Pak Suro selesai dikuburkan, teriring doa yang diucapkan dalam kesunyian hati. Sepulang dari pemakaman menuju rumah pak Suro almarhum, Kholil gelisah, tangan memegang pinggang depan hingga belakang, lantas balik lari ke kuburan seperti sedang mencari sesuatu. Wajah Kholilipun mendadak pucat.
“Cluritku gak enek”, kata Kholili
“Coba nanti di cari dirumah pak Suro, barangkali jatuh disana”, kata Han Han. Atas amanah pak Suro perihal Yani, maka setelah menggambil beberapa potong baju, bersama nyamperi Ningsih di Kangkungan, menginap dan paginya menuju Babarasri Kali Bawang. Kholili semakin pucat, clurit belum ditemukan meski dicari sampai lorong rumah.
“Apa tertinggal di rumah Ningsih ya?’, tanya Han Han.
“Aku ncen sempet ngetokna, ning sak elingku tak sengkelatna mene”, jawab Kholili.
“Yakin saja tidak hilang, kalau sudah milik meski terjatuh bahkan hilang pasti kembali”, hibur Atmo. Kholili mengangguk dan merasa lega dengan pendapat Atmo.
“Sudah siap dik?’, tanya Atmo pada Yani. Yani, Sulityani masih berusia lebih muda dua tahun dari Mardi, Han Han dan Kholili. Masih sedikit malu menghadapi empat laki laki yang baru dikenalnya.
“Yuk budal mumpung jik sore, ndang pengin ketemu cluritku”, ajak Kholili tergesa. Yani yang masih lugu mengikuti jalan dan terus disamping Atmo yang memang lebih dewasa dibanding Han Han, Kholili dan Mardi.
“Dik, aku baru sadar kalu bapak tadi menyerahkan pisau kecil sewaktu memegang telapak tanganku, mestinya untuk diberikan kepadamu”, bisik Atmo pada Yani sambil menyerahkan pisau kecil. Yani kebingungan dan terpaksa menerima. Begitu keluar dari halaman rumah sudah dihadang oleh seorang lelaki dengan wajah merah menyimpan amarah. Dialah Sulis, Sulistyo melempar lembaran lembaran kertas bergambar sketsa wajah.
“Ini yang telah membunuh bapakku”, bentaknya. Atmo, Mardi, Han Han dan Kholili heran dan hanya saling pandang diantara mereka sendiri.
“Kang Sulis, sudah kang mereka bukan orang jahat”, sela Yani. Sadar bahwa orang yang mencegat adalah Sulis, kakak Yani yang barusaja membunuh bapaknya sendiri.
“Maaf, kami tidak ada urusan dengamu”, jawab Atmo datar.
“Sudah kang, jangan berkelahi kita baru kehilangan bapak”, rajuk Yani.
“Bapakmu bukan bapakku”, bentak Sulis dan siap menampar wajah Yani, namun tangannya kebur ditangkap Atmo. Dengan tangkas menggerakkan tangan tanpa tenaga, tangan Sulis lepas dari genggaman Atmo. Atmo sempat kaget dengan tekhnik yang digunakan Sulis. Han Han, Mardi dan Kholili juga terheran melihatnya.
“Aku masih berbaik hati, tidak akan akan menggunakan tanganku untuk menangkap kalian, menyerahkan diri saja baik baik dan saya antar ke markas Belanda sekarang juga’, keluar sombongnya.
“Hei…peno iku guendheng tah, gek urusane apa jal”, kata Kholili. Sulis dengan kecepat geraknya melompat dan menendang dada Kholili dantangannya memukul perut Mardi dan mejatuhkan dirinya langsung pasang kuda kuda siap menghadapi Han Han dan Atmo. Mardi terpelanting jatuh, bekas luka tembak terbuka mengeluarkan darah, Kholili terpental dua langkah ke belakang. Yani langsung menubruk kaki Sulis, namun diangkatnya tubuh Yani dan dilemparkannya. Han Han terpancing kemarahannya. Hanya Atmo yang menanggapinya dingin.
“Maaf, kami tidak ada urusan denganmu”, kembali Atmo mengulang perkataanya.
“Apa, masih mengelak, lihat gambar gambar bajingan buron”, Sulis.
“Apa hubunganmu dengan Belanda”,tanya Atmo. Sulistyo menjawab dengan lompatan terbang dan dengan kecepatan memukul mukul bagian wajah Atmo. Atmo bergerak mundur dan mundur menjuauh menjaga jarak pukul. Han Han dengan lengan luka tembak yang baru kering bersiap menyerang, namun dengan gerakan tangan, Armo mencegahnya.
“Aku tidak mau mengotori tempat ini yang baru saja mengantar kepergian orang suci”, kata Atmo. Mendengar kata kata Atmo, kemarahan Sulis meninggi melompat mendekap tubuh Yani dan menempelkan pisau pada leher Yani.
“Aku tunggu di peinggir sungai Jlegong, jangan lari kalau tidak ingin leher anak ini putus”, ancam Sulis dan langsung menggelandang Yani kearah sungai Jlegong. Hanya dalam sekejap Sulis sudah mendahului lima belas langkah kedepan. Atmo mengajak Han Han, Kholili dan Mardi yang terus memegang perutnya keluar darah. Kholili melihat kondisi seperti sekarang ini merasa dirinyalah yang layak menghadapi Sulis, namun sejengkal nyawanya (clurit) tidak berada di tangannya. Han Han sendiri melihat tekhnik silat yang dipergakan Sulis sangat sulit dilawan dengan tangan yang berkurang tenaganya. Mardi sangat tidak mungkin. Kholili, Han Han dan Mardi dalam perjalanan mengikuti Sulis mempunyai kekhawatiran yang sama jika Atmo yang turun menghadapinya. Gaya Atmo sangat beda dengan Sulis. Terlebih Atmo tidak membawa sangkurnya. Sepertinya Atmo tahu apa yang ada dalam pikiran Mardi, Han Han dan Kholili. Tetap tenang mengikuti Sulis yang sedang menggelandang Yani.
“Kenapa kita tidak lari saja?”, tanya Mardi terpaksa muncul keluar piiciknya. Atmo berhenti dan membelalakkan matanya kepada Mardi mengangkat tangan ingin menampar wajah Mardi, namun diurungkannya. Mardi tertunduk takut. Sulis sudah sampai di tempat cukup lapang pinggir sungai Jlegong dan berdiri tegak menunggu dan terus memegang tangan Yani. Jarak 15 meter dari posisi berdirinya Sulis, Atmo menyuruh Mardi, Han Han dan Kholili berdiam disini dan akan menghadapi Sulis sendirian. Kekhawatiran memuncak dirasakan saat Atmo berkata;” Kita hormati Pak Suro, kalau aku kalah dan tewas tetaplah berjiwa kesatria, serahkanlah kalian padanya”. Melangkah Atmo mendekati Sulis.
“Kenapa tidak sekalian berempat melawanku”, tantang Sulis.
“Itu bukan watak bapak, pak Suro”, jawab Atmo. Yani yang tetap di dekat Sulis duduk menutupi wajahnya dengan tangis yang telah habis.
“Mana senjatamu”, tanya Sulis. Atmo dengan Bahasa tubuhnya berkata bahwa ia tidak bawa. Tangan kiri Sulis sudah mencabut pisau. Kedua tangan Sulis sudah memegang pisau. Atmo tetap tenang dengan tangan kosong. Han Han, Mardi dan Kholi yang berjarak sekitar lima belas meter mendekatkan dirinya satu sama lain, dengan kekhawatiran teramat sangat.
“Aku baru tersadar saat menuju kemari, bahwa kaulah selama ini yang mendalangi manusia antah berantah berbaju pejuang”, kata Atmo.
“Untunglah kalau sadar”, jawab Sulis bergerak maju tiga langkah dari Yani. Tinggal sekitar lima langkah dari Atmo.
“Aku tahu namamu, tapi sangat berat memanggil dengan sebutan namamu, maaf kisanak”, Atmo memancing emosi Sulis.
“Percuma kau melawan dengan tangan kosong”. Sulis melempar pisau yang ada di tangan kanannya, tak berbeda antara memberi atau berniat mencederainya. Atmo tangkas menangkap pisau yang hamper mengenai wajahnya. Atmo senyum senyum.
“Sepertinya ini satu satunya watak kesatriamu yang menurun dari bapakmu, satu satunya dan aku hargai itu”, kembali Atmo memancing kemarahannya. Sulis berisiap dengam kuda kuda; setengah jongkok kaki kiri menyilang sampan belakang dan tangan kanan menyilang memegang pisau.
“Kisanak, kau akan kecapekan dengan jurus itu, sangat tidak cocok untuk perkelahian satu lawan satu, jangan pamer dengan “Sundang Bayubajra”, Atmo memancing dengan melecehkannya. Han Han,Mardi dan Kholili heran Atmo bisa membaca gerakan Sulis. Sulis merasa dilecehkan merubah gerakan dan posisi kuda kudanya.
“Hahaha….itu bunuh diri dengan “Sundang Surya”, coba saja pisau ditanganmu akan menggores wajah tampanmu”, Atmo semakin melecehkan. Sulis langsung menerkam Atmo menyabetkan pisau kearah tubuh Atmo sekejap namun puluhan kali pisau itu berkelebat. Atmo hanya mengelitkan tubuh dan bergerak mundur. Baju Atmo robek diagonal atas – bawah, darahpun membasah. Sulis satu langkah melompat mundur tampak mennyembunyikan nafas terengah.
“Itulah kenapa aku mengajakmu kemari pinggir sungai Jlegong. Air untuk mensucikan mayat”, ledek Sulis. Sama sekali tak berpengaruh ledekannya.
“Hanya ini hasilnya, tak berarti bagi tubuhku, ganya goresan kecil saja”, ledek Atmo lagi.
“Jangan sembunyikan kau punya nafas, gunakan saja “Sundang Gunung”, “Sundang Kali” atau “Sundang Laut” biar tidak menguras tenagamu”, tambah Atmo. Sulis kembali menerkam. Tidak ada percakapan lagi. Atmo sudah tidak lagi mundur menhindar dan menangkis, balas menyerang. Pertarungan semakin meninggi, masing masing menguras tenaga. Mardi, Han Han dan Kholili tak mengedipkan matanya sementara Yani yang ketakutan meutupi mata dengan kedua tangannya. Goresan pisau di tubuh Atmo bertambah dan darah membasahi tubuhnya cukup deras. Sulis juga mendapatkan beberapa goresan pisau di tubuhnya. Meski petarungan meninggi Atmo masih menyempatkan untuk berkata kata; “ Nikamati saja pertarungan hialngkan niatmu untuk menyakiti atau membunuh”. Justru Sulis semakin kalap mendengar kata kata Atmo.
“Craasssss!
Empat jari tangan kana Sulis putus dan hanya menyisakan jempolnya. Pisau terlempar jauh. Goresan pisau pada bagian paha Sulis sangat banyak, Sulis roboh dengan tangan kiri memegang tangan kanan yang tinggal menyisakan jempolnya. Atmo berdiri tiga langkah dari Sulis yang berdiri dengan lutut untuk menyangga tubuhnya.
“Aku sangat menghormati bapakmu itulah kenapa aku tidak membunuhmu, meski dengan sangat mudah, aku juga mengingkari “Sundang Majapahit” dengan membiarkan musuh tetap hidup, aku tidak membunuhmu”, kata Atmo sambil mengembalikan pisau dan melemparnya tepat di depan Sulis yang menundukkan kepala. Atmo memanggil Yani dan berbalik meninggalkan Sulis. Kesmpatan. Sulis mengambil pisau dengan tangan kiri dan bersiap melemparkan kea rah Atmo. Sontak serentak Mardi, Han Han dan Kholili berteriak; “Atmooooo….!
Tangan kiri Sulis yang sudah terangkat naik mau melempar terhenti seketika, ketiak bagian kiri tertusuk pisau kecil milik pak Suro yang dikembalikan Atmo kepada Yani. Yani terdiam setelah menusuk Sulis, Sulistyo kakak kandungnya sendiri. Han Han, Mardi dan Kholili bersama lari menghampiri Yani dan mengajaknya segera meninggalkan tempat ini. Karena Yani masih sedikit kaku berat untuk melangkah, Kholili mengangkat tubuh Yani yang masih memegang pisau kecil, menaruh dipundaknya. Bersama dengan jalan cepat kearah timur. Menyeberang sungai Jlegong, sungai suci untuk memandikan mayat.

Sampai kali Putih. Atmo roboh. Tubuh Atmo kejang kejang dan matanya terbelalak. Han Han menotok titik titik akupuntur. Kholili segera meletakan Yani di bawah pohon pule. Mardi memegang kedua kaki Atmo agar tak bergerak menendang nendang. Cukup lama tubuh Atmo kejang kejang muali melambat. Matanya sudah mulai bisa mengatup. Han Han setelah menotok kari kearah rerumputan mencari daun ‘awar awar’ berikut getahnya diremat remat hingga lengket untuk menutup luka luka Atmo. Atmo menggerakkan badannya memaksa duduk dengan nafas yang masih tidak beraturan.
“Pisau itu beracun”, kata Atmo lemah.
“Tidak tahu, tubuhku kuat menahan racun ini”,tambahnya.

#Bersambung


Advertisement

Baca juga:

Blogger
Disqus
Pilih Sistem Komentar

Tidak ada komentar