CO PATRIOT X  #OperasiProdeo III

CO PATRIOT X #OperasiProdeo III

CO PATRIOT X
#OperasiProdeo III

Oleh: Gati Andoko

Tidak menemui kesulitan sediktpun. Pemuda pemuda Kangkungan dan Tirto menyatakan diri mereka siap bergabung meski yang ikut serta secara langsung terlibat dalam operasi ini yang dibutuhkan Cuma 7 orang, tetapi setidaknya sekedar ikut menikmati hiburan yang ada sekaligus berjaga jag ajika sesuatu yang buruk terjadi. Dua orang pejuang pengikut Djendral Soedirman yang selama ini tinggal di desa Ngemplak Plosok Gede Ngluwar ikut serta mengamati dan mempelajari situasi untuk bahan laporan kepada sang Djendral nantinya. Pemberangkatan dibagi menjadi beberapa kloter: kloter pertama jelas Atmo, Kholili, Ningsih, satu pengikut Djendral Soedirman, dua pemuda Kangkungan dan tiga orang dari Tirto,kloter selanjutnya diatur secara acak dan perjalanannya disebar melalui beberapa jalur juga.
“Kita tidak menggunakan kode apapun, yang penting sejak awal kita saling mengenal tubuh kita sekaligus bayangan kita sendiri”, tegas Atmo. Kloter pertama berangkat, menerabas bukit Gendhol dan turun arah Jumoyo. Sengaja melalui jalan besar untuk memperpendek jarak agar secepatnya bisa ketemu Han Han dan Mardi di warung kupat tahu depan juragan arang.
“Tidak bahayakah melalui jalan utama?’, tanya pengikut Djendral Soedirman dalam perjalanan.
“Kali ini, bisa kita percayai Belanda tidak akan merazia atau menangkap semena mena”, jawab Atmo.
“Selama ini saya dengar sepak terjang kisanak dengan cuma segelintir teman di Muntilan yang membuat Belanda selalu kuwalahan menghadapainya, beruntung aku mengenalnya sekarang”, kata pengikut Djendral Soedirman.
“Djendral Soedirman pasti bangga”, lanjutnya.
“Jangan berlebihan, saya dan keempat sahabat tidak sedang membuat bangga siapapun, menghadapi karena memang berani menghadapi, melawan karena memang berani melawan dan kenapa berani yahh..karena ada Ningsih, pemuda pemuda dari Kangkungan, Tirto dan para pejuang lainnya”,jawab Atmo terkesan asal asalan.
Jembatan kali Putih terlewati.
“Oh iya kisanak, nanti kita tidur di mana?”, tanya pengikut Soedirman sambil menghentikan langkahnya. Mendengar pertanyaan yang tidak dinyana membuat Atmo terbengong dan mengarahkan pandangannya pada Kholili dan Ningsih. Kholili dan Ningsih juga tergagap melempar pandangan kea rah jalan kecil menuju desa Sikepan.
“Ah tidak apa, kalau kisanak tidak keberatan saya bersama teman daru Tirto dan Kangkukngan menginap semalam di desa Nabin”,sergah pengikut Soedirman.
“Ehmmm …..ada saudara di sana?’, tanya Atmo tergagap.
“Bukan saudara cuma teman dekat saja, Ami dan Hadi Saleh sesame pendherek jendral”, jawabnya.
“Oh maaf ehmmm…. saya memang tak punya tempat tinggal, maaf”, jawab Atmo.
“Bukan itu maksud saya, akan menimbulkan kecurigaan kalau bersamaan begini, kita langsung ketemu besok di Klentheng”,salah tingkah juga pengikut Soedirman itu.
Mereka berpisah setelah sampai pertigaan Karanglo. Pengikut Soedirman dan kelima pemuda dari Kangkungan dan Tirto belok kiri menuju Nabin, sementara Atmo, Kholili dan Ningsih terus melanjutkan kea rah Muntilan yang sebentar lagi sampai. Mulanya Atmo sempat sedikit tersinggung ketika pengikut Soedirman menanyakan “tidur di mana”, tetapi ini memang yang terbaik daripada bergerombol tanpa ada tempat untuk singgah, istirahat.
Sampailah di jembatan sungai Blongkeng. Lampu senthir dan bara api dari “anglo’ menyinari warung kecil depan gudang arang. Mardi dan Han Han melambaikan tangannya. Tak biasanya warung kupat tahu mala mini cukup sepi. Barangkali Klentheng sudah sedemikian menarik bagi warga sebagai tempat ngumpul atau sekedar jajan.
“Mangga pinarak, taksih kok manawi namung pitung piring”. Bukan sepi pengunjung ternyata, melainkan sudah kelarisan sesorean tadi. Sangat banyak yang mampir para pedagang yang menuju Klentheng untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Beruntunglah Atmo, Kholili, Ningsih, Han Han dan Mardi masih kebagian mencicipi kupat tahu yang sudah terkenal sejak dibangunnya rel kereta api Jogya-Magelang. Penjual kupat tahu ini memang sudah lanjut usia dibantu istrinya, namun setelah istrinya meninggal tahun 1942 kadang dibantu anak lelakinya, terkadang sendirian. Ciri khas kupat tahu ini tidak hanya rasa, namun juga cara menyajikan yang dirasa tidak umum. Alat yang digunakan untuk mengiris tidak menggunakan pisau, melainkan “welat bambu”. Ketrampilan menggunakan “welat bambu” ini juga yang membuat Mardi, Han Han dan kholili selalu penasaran pengin belajar bagaimana tekhnik melatihnya. Dengan kecepatannya tak sampai dua menit lima piring kupat tahu sudah disajikan. Mulai mengiris tahu,dari memotong kupat, merajang kolbis bahkan sebelumnya saat membolak balik tahu yang sedang digoreng cukup dengan tangannya langsung masuk dalam minyak panas. Tak berkedip dan tahan nafas berlima tak bisa membaca pergerakan tangan penjual kupat tahu sampai sampai tidak sadar saat piring kupat tahu diserobot oleh gerombolan berbaju pejuang.
“Nuwun sewu pak, punika kagem lare lare nik”, bapak penjual kupat tahu merajuk. Ningsih yang duduk ditengah meski piring kupat tahunya tak diambil hanya menoleh kanan kiri kebingungan. Demikian juga yang lain terbengong tak bisa berbuat apa apa.
“Estu pak, punika kagem lare lare”, lanjutnya.
“Uwuh (sampah) tanpa guna kok diopeni”,gerutu salah satu dari gerombolan itu.
“Lare lare punika ugi menungsa kados dene bapak bapak”, lanjutnya.
“Adik manis…ayo dimaem, apa perlu pangku kang mas kene”, salah satunya mengarahkan percakapan dan pandangan kea rah Ningsih. Atmo, Mardi, Han Han dan Kholil meski geram hingga ubun ubun masih ragu untuk berbuat karena melihat penjual kupat tahu terus saja merajuk sambil terus memegang “welat bambu” di tangan kanannya. Keempat orang yang sudah memegang piring kupat tahu meyantapnya.
“Pak….”, belum juga selesai kalimatnya, bapak penjual kupat tahu ditendang terjengkang ditumpukan piring kotor. Semerta merta Mardi berdiri dan diikuti yang lain kecuali Ningsih yang nampak ketakutan.
“Ngger, iki tanggungane bapak ngger”. Ditendangnya lagi hingga tumpukan piring kotor kejatuhan kedua kalinya. Pecahlah piring piring itu. Dengan tetap tak melepaskan “welat bambu”, bapak penjual kupat tahu yang memang sudah lanjut usia terengah mencoba berdiri. Ketiga orang dengan piring ditangannya mendekati dan mendorong tubuh bapak ini dengan kakikya. Mardi bersiap melompat dan melawan, namun dilempar piring, beruntung bisa menghindarinya. Senjata pistol terarah pada Mardi. Tinggalah bapak penjual dikeributi tiga orang, namun dengan kecepatan tak terbaca “welat bambu” dilesatkan kearah leher orang yang menodongkan pistol ke arah Mardi. Lengkingan tertahan dan roboh seketika dengan tubuh mengejan sekarat. Bersamaan melempar piring dan mencabut senjata di pinggangnya, lagi lagi keduluan penjual kupat tahu dengan cepat mengambil persediaan “welat bambu” dan langsung melesatkannya tepat di jidat salah satunya. Terkapar. Dua orang tersisa lari terbirit birit kearah barat.
“Cepat bawa dua mayat ini ke kali Blongkeng”, pinta penjual kupat tahu. Segera Atmo, Mardi, Han Han dan Kholili mengotong dua mayat ke kali Blongkeng yang cuma berjarak 100 meter. Ningsih tetap duduk gemetaran tubuhnya. Bapak penjual kupat tahu langsung menghampiri Ningsih dan memegang punggungnya.
“Nyebut nduk, nyebut….ora papa kok”.
Ningsih menggerak gerakkan mulutnya menyebut nama Allah dengan Istigfar. Tak beberapa lama Atmo, Han Han, Mardi dan Kholili kembali dengan masih dihinggapi rasa campur aduk dalam pikirannya.
“Iki sak anane dimaem bareng bareng, apuranen bapak ya”, kata bapak penjual yang juga telah menyajikan dua piring kupat tahu.
“Iki ngirise nganggo welat sing beda kok hihihi…”, lanjutnya. Berlima masih belum berubah dalam pikiran dan perasaan masing masing. Bapak penjual kupat tahu mengambil segelas air putih dan meniupnya beberapa kali.
“Iki diombe saktenggak saktenggak, terus ndang dimaem kupat tahune ora ketang sesendok, mengko kebablasen ra doyan mangan”, tambahnya. Seteguk seteguk bergantian Atmo, Mardi, Han Han, Kholi dan terakhir Ningsih setengah dipaksa. Ningsih yang masih terbawa suasana memaksa diri memakan kupat tahu yang sedari tadi ada di depannya. Disusul keempat lelaki yang tetap saja lahap, lupa kejadian sebelumnya.
“Sampun telas pak, bu!i”, seru bapak penjual kupat tahu mendahului pembeli pembeli yang sedianya mau mampir. Tambah ramai jalanan pecinan, berbondong bonding menuju Klentheng meski acaranya masih besok pagi. Bapak penjual kupat tahu tidak segera membenahi atau memilah piring piring pecah malah mengambil piring khusus yang sepertinya selalu disediakan untuk mengumpulkan sisa sia kupat tahu dan yang berserak tadi dan meletakkan piring itu di sebelah timur dekat sungai kecil. Tak seberapa lama anjing anjing liar berdatangan memakan kupat tahu sisa. Seperti terjadual begitu saja. Lahap juga anjing anjing itu memakannya sampai harus tarik menarik antar anjing memperebutkan piring. Mardi,Han Han, Kholili dan Atmo melihat anjing berebutan merasa kesindir, menghentikan makan dan menaruh sisa kedalam piring anjing. Ningsih melihat keempat temannya merasa malu dengan anjing tertawa terpingkal pingkal. Meski sudah ditambah kupat tahu sisa, hanya sebentar tidak berebut, anjing anjing kembali berebut piring sampai berujung pada saling gigit diantaranya. Tonotonan aneh. Anjing makan kupat tahu, belum juga habis justru berebut piring. Seperti berkaca dalam cermin saja. Han Han yang merasa malu juga melihat tingkah anjing memberanikan diri untuk bertanya pada bapak penjual kupat tahu yang mulai bersih bersih.
“Pak, maaf tadi itu yang bapak mainkan dengan “welat bambu” ilmu apa?”. Bapak penjual kupat tahu hanya memandang Han Han dengan senyum saja dan justru mengalihkan pembicaraan pada anjing anjing yang masih berebut piring.
“Ngger kabeh wae, ngono kui bedane menungsa karo asu”, kata penjual kupat tahu. Sontak kaget mendengar kalimat yang diucapkan bapak penjual kupat tahu.
“Bangsa ngendi wae, sing jeneng menungsa ki mesti tresna mituhu marang bumi laire (setia tuhu mencintai tanah airnya), dene asu seneng karo piringe, delengen kui rebutan piring ki merga rasa seneng iku mau”. Meskipun sejatinya tidak paham betul apa yang diucapkan bapak penjual kupat tahu namun tetaplah menganggu anggukkan kepala bersama sama.
“Maaf pak, pertanyaan saya belum dijawab hehehe….”, Han Han mencoba mengembalikan arah pertanyaannya.
“Mbuh Londo, Jepang lan bangsa bangsa liya sing kekeh pengin nguwasani Negara wake dewe ora liya merga seneng karo piringe, bumi laire awak dewe muk dianggep piring”. Bapak penjual tetap tak menjawab pertanyaan Han Han.
“Anu pak hehehe….”, Han Han menjadi sungkan untuk melanjutkan pertanyaannya.
“Oalah nggeeerr nger, bapak ki dodolan kupat tahu, ya kui sing diarani ngelmu kupat tahu hahaha…..”, kelakarnya. Tidak menjawab secara pasti Han Han mencoba mendekati dengan cara ikut membantu bapak penjual kupat tahu diikuti juga lainnya bersih bersih dan meberesi perkakas dan membuang pecahan piring. Senyum ceria terpancar pada wajah bapak penjual saat melihat anak anak muda membantu meski dibalik itu ada keingintahuan yang besar. Tetap saja merasa terharu dengan keberadaan anak anak muda ini. Beres beres selesai. Hampir bersamaan Atmo dan Han Han merogoh kantong mengambil uang, sembunyi Atmo menyerahkan uang pada Han Han.
“Maaf pak, cuma ada uang segini masih belum cukup untuk mengganti piring piring yang pecah, besok kalau sudah ada kami pasti dating kemari”, kata Han Han lirih.
“Aach,,, aku salah duga, anak anak ini benar benar tulus, maafkan ngger , seandainya saja……”, bapak penjual kupat tahu berkata dalam hati. Untung saja cahaya senthir tidak menerangi wajahnya yang berkaca kaca. Entahlah! Apa yang sedang dirasakan bapak penjual saat ini.
“Uwis ngger, bapak ikhlas kok, gembolen meneh duitmu kui”.
Atmo, Han Han, Mardi, Kholili dan Ningsih berpamitan tanpa menunggu jawaban apa yang ditanyakan Han Han. Bapak penjual kupat tahu melepas kepergian mereka dengan pandangan sunyi dalam hatinya.

“Ngger,aruhna aku Suro, pak Suro ngono wae, mbuh kapan kowe kabeh bakalan ngerti ngelmu sing tak sinaoni “Sundang Majapahit utawa Kali Majapahit”, batinnya.

#Bersambung.


Advertisement

Baca juga:

Blogger
Disqus
Pilih Sistem Komentar

Tidak ada komentar