CO PATRIOT XI  #SuroSundangMajapahit IV

CO PATRIOT XI #SuroSundangMajapahit IV

Dengan dibimbing pak Hadi Saleh, pak Ami berjalan gontai minta disediakan tepung beras. Ningsih segera mengambil setengah cepuk beras dan menumbuknya untuk dijadikan tepung. Wajah pak Ami pucat dan telapak kedua tanggannya melepuh. Setengah malam lebih pak Ami berusaha mengobati Atmo. Tepung beras itu nantinya akan dicampur air untuk merendam kedua telapak tangannya. Mardi khawatir, meninggalkan dapur mendekati Atmo yang sedang ditunggui Yani.
“Pindah sana, itu kursi untuk pak Hadi Saleh dan pak Ami”, bentak Mardi pada Yani yang duduk di kursi. Han Han dan Kholili keheranan melihat Mardi marah tak diketahui penyebanya. Yani berjalan mundur pandangannya terus kearah Atmo yang tubuhnya gemetar karena demam tinggi.
“Apa yang kau lihat, berdidiri di pojok sana”, bentak Mardi lagi. Yani berdiri di pojok rumah dengan kepala menunduk. Han Han dan Kholili menghela nafas. Tubuh Atmo kembali kejang kejang mulutnya bergerak gerak meracau. Mardi lebih dekat lagi dan berusaha mau memegang kepala Atmo, namun buru buru Yani lari menghampiri dan menarik tangan Mardi. Marahlah Mardi.
“Ini apa lagi, kalau tidak mau berdiri di pojok, pulang saja sana”, bentak Mardi meninggi. Yani lari keluar rumah tapi dicegah Han Han.
“Sudah, biarkan saja pergi”, bentak Mardi sambil menarik tangan Han Han. Yani lari keluar rumah, tidak pulang melainkan memetik beberapa daun sirih dikunyahnya dan kembali mendekati Atmo. Sirih yang sudah dikunyah mau dipiliskan ke jidat Atmo.
“Mau kau apakan kakaku, minggat Sanaa…..”, kemarahan Mardi memuncak sampai mau menampar Yani namun dicegah Kholili.
“Uwis tah, jarno ae wong ya bener iku Yani”. Kholili mencoba menyabarkan Mardi. Kunyahan daun sirih dipilskan pada jidat Atmo. Yani kembali berdiri di pojok rumah. Kejang kejangnya mulai melambat, hanya saja mulutnya meracau dan menggigau.
’Ya biyung uga ramane, Mardi bakal sekolah mengkone duite inyong cukup kanggo ragat’, berubah pembicaraan,’kang Sarwi anakmu laki laki ganteng’, berubah lagi kemudian,’biyungek dening kenang apa Simprah kok digendong kaya kuwe’. Han Han dan Kholili maisng masing tangannya memegang punggung Mardi, tak kuat menahan tangis lagi. Yani tetap berdiri di pojok rumah. Dari arah dapur pak Ami yang diikuti pak Hadi Saleh.
“Nek bisa ‘aji wisa bathari’ cepet kok racune metu”, kata pak Ami sambil mendekati Atmo.
“Lha iki ora sakbaene ula welang, wahh licik tur ya kejem tenan anake pak Suro ki”, tambah pak Ami. Yang sangat mengherankan menurut pak Ami, Atmo masih bisa bertahan.
“Mestine merga nguwasani uga jurus ‘sundang Majapahit’ ya kang?’,tanya pak Hadi Saleh. Pak Ami tidak menjawab dan justru bertanya pada Han Han, Kholili dan Mardi dimana dan gurunya siapa, Atmo ini belajar olah kanuragan. Yang diketahui oleh Han Han, Kholili dan Mardi hanya karena Atno pernah ikut pendidikan KNIL.Menurut pak Ami dan pak Hadi Saleh itu tidak mungkin, KNIL melatih Sundang Majapahit.
“Kang Atmo nate mlebet pondok pesantren, ning ngertos kuls njih namung ngaji”, jelas Mardi yang tidak yakin apakah ilmu kanuragan Atmo didapat dari sana.
“Pondok ngendi dik?’, tanya pak Hadi Saleh.
“Somalangu Kebumen pak”, jawab Mardi. Pak Ami dan pak Hadi Saleh mengangguk angguk. Ketemu benang merahnya, hanya saja untuk minta pertolongan ke Somalangu terlalu jauh, itu sangat tidak mungkin. Teman seperguruan juga tak ada yang tahu. Pak Ami dan Pak Hadi Saleh mulai putus asa apa lagi yang lain. Sedikit banyak pak Ami menjelaskan tentang ‘sundang Majapahit’ meskipun hanya pengetahuan saja dari sejarah, teknik juga senjata yang digunakan. Harapan satu satunya tinggal mencari pisau babonnya. Hanya saja dimana mau dicarinya.Dalam kebingungan, Yani menyerahkan pisau yang ia gunankan untuk menusuk ketiak Sulis. Pak Ami dan pak Hadi Saleh bergantian mengamati pisau itu.
“Sepertinya benar tapi kok panas sekali”, kata pak Ami. Pak Hadi Saleh bertanya pada Yani apakah ini benar pisau babon atau atau bukan. Yani menggeleng.
“Coba nduk, tusuken kae wit gedhang ping telu pa ping lima”, perintah pak Ami pada Yani. Yani menusuk nusuk pohon pisang hingga lima kali dan kembali menyerahkan pisau kecil itu pada pak Ami.
“Sarapan riyin dik Ami, dik Hadi, ngapunten kawanen, Ningsih kanca kancamu jak sarapan”, kata simbok. Atmo sudah mulai tenang. Duduk melingkari secething nasi putih, kluban daun jipang, tempe garit, sambel trasi, gerih pethek dan pete bakar.Hanya Mardi yang justru tidak berada dalam lingkaran, keluar rumah pergi duduk dekat kandang kambing.
“Ndak papa, Mardi memang begitu kalau sedih maunya sendiri dan tak mau makan “, kata Han Han. Ningsih mengurungkan niatnya mengajak Mardi. Ningsih dan Simboknya memang pinter masak, diakui juga oleh pak Ami dan pak Hadi Saleh. Yani yang belum juga keluar suaranya semenjak menusuk kakaknya sampai sekarang ini. Menggeleng dan mengangguk, itu saja. Ditengah asyiknya sarapan pak Ami dan pak Saleh menekankan bahwa racun yang ada dalam tubuh Atmo sangat kuat, maka kalau terjadi sesuatu yang buruk pada diri Atmo diminta untuk taetap tabah. Satu satunya harapan tinggal benar tidak pisau kecil yang diberikan Yani tadi. Cukup lama untuk membuktikan. Tunggu pohon pisang yang ditusuk lima kali layu atau tidak. Kalau benar itu pisau babon, pohon pisang akan layu beberapa jam kedepan, gunakanlah runcing pisau itu mengeluarkan racun dengan cara menusuk kedua jempol kaki Atmo, jangan dicabut sebelum mengeluarkan darah. Pak Ami dan pak Hadi Saleh juga minta maaf karena selepas selesai sarapan akan pulang ke desa Nabin untuk mempersiapkan ‘Muludan’ nanti malam. Tanggal 12 Januari 1949, 12 Maulid Nabi Muhammad SAW 1368 Hijriyah.

Sarapan selesai. Pak Ami dan pak Hadi Saleh pulang ke desa Nabin. Yani tengok kanan kiri, melongok keluar rumah kemudian duduk di samping Atmo. Han Han, Kholili membantu Ningsih bersih bersih dan mencuci piring. Simbok ke sawah ‘mburuh matun’. Mardi telah meninggalkan kandang kambing, pergi entah kemana. Benar kata Han Han, kalau sedih jangankan cuma sekali, tiga sampai 4 hari tidak mau makan lantas pergi entah kemana. Tempat yang disenangi makam Kyai Raden Santri, selain itu yang penting bisa bercerita kepada alam yang dipilihnya. Hampir mirip dengan Atmo, kakaknya. Hanya saja yang cukup dirasa aneh, Mardi bisa marah sedemikian rupa, terutama kepada Yani, Sulistyani. Barangkali karena berpikir kedepannya, akan menjadi tambahan beban, atau perhatian kakaknya nanti berkurang, bisa juga. Kekecewaan Mardi terbesar adalah keinginannya untuk sekolah guru belum juga terlaksana. Begitu besar minatnya sebagai guru.
Benar kan?
Lihat itu, saat berdiri ditengah tengah patung yang berserak sekitar Kangkungan dan desa Tirto seolah sedang mengajar murid muridnya bahwa di daerah sini adalah perdaban tua dengan kebudayaan yang tinggi. Sangat marah ketika dapat cerita dari Supri, pemuda pemuda Kangkungan dan Tirto bahwa Belanda sudah sangat banyak mengangkuti patung patung sekitar candi Gunung Wukir. Diusapnya ‘batu sabak’ (prasasti Canggal) dengan tulisan huruf ‘palawa’, meskipun dia sendiri belum bisa membaca rangkaian huruf hurufnya.
Lihat itu!
Mardi membelakangi ‘batu sabak’ mengingat rangkaian huruf dan menulisnya kembali di awang awang. Patung Ganesha yang terpendam hanya nampak belalainya, dibersihkan dari lumut yang menempel mengotorinya, sungguh menampakkan Dewa Ilmu Pengetahuan yang sedang muram. Kalau saja suatu ketika menjadi guru akan membawa anak didiknya kemari agar senantiasa Dewa Ilmu Pengetahuan tidak muram lagi.
“Anak anakku!
“Inilah desa ‘Kunjarakunja’. Kalau kita naik lebih tinggi lagi Lingga dibangun oleh Raja Sanjaya tepat di puncak gunung. Puja puji terhadap Dewa Siwa, Brahmana dan Wisnu mengayun daun jatuh dari pepohonan menyuburkan tanah untuk tanaman padi. Untuk itulah candi Siwa dibangun. Dewa perusak itu harus didedakati, jadikan sahabat sejati agar tidak mudah memutar balikkan bumi ini. Raja Sanna yang sangat adilbijaksana, sikap perwira dalam peperangan dan murah hati pada rakyatnya masih bersemayam, disini. Pengganti Raja Sanna adalah putranya yakni Sanjaya yang diibaratkan sebagai Matahari. Jangan ada yang takut, meski kita tidurdi jalanan. Karena disinilah Kunjarakunja-desa tempat pertapaan Resi Agastya”.
“Hahahaha…..kok aku jadi gila begini ya hahaha”, Mardi menjambak rambutnya sendiri menyadari bahwa sedang tidak tidur namun ‘mimpi’.
“Mas Mardi”. Mimpi Mardi mendadak terhenti mendengar namanya di panggil. Yani yang memanggilnya.
“Kenapa kemari?’, tanya Mardi yang berubah raut mukanya menjadi marah. Yani tertunduk tidak berani memandang wajah Mardi dan hanya diam berdiri.
“Aku tanya, kenapa kemari?”, tanya Mardi agak membentak. Lagi lagi Yani tidak menjawab, hanya diam berdiri.
“Pulang saja sana, urus itu si pecundang yang sudah jadi bangkai”, bentak Mardi.
“Aku cukup lama berdiri di sini, aku juga melihat mas Mardi sedang mimpi”, Yani memberanikan diri bicara. Mardi hanya memekik dalam hati, merasa malu mimpi gilanya diketahui Yani. Gantian Mardi terdiam.
“Mas Mardi sedih atas mas Atmo, aku paham tetapi aku tak perlu dipahami atas kesedihanku sendiri; bapak mati di depan mataku dan aku bunuh kakakku”,tegas Yani. “Modyaarr”, pisuh Mardi dalam hati.’
“Aku bisa ingkar dari amanah bapak untuk ikut mas Atmo kalau mas Mardi keberatan, saya menemui mas Mardi saat ini untuk pamit pulang’, kata Yani. Mardi hanya bisa memaki dirinya sendiri tak menyadari kalau Yani sudah melangkah pergi.
“Yani”, panggil Mardi. Yani sudah menuruni tebing sepuluh langkah.
“Ya mas”, jawab Yani menghentikan langkahnya. Mardi dengan melompat turun bukit tepat dihadapan Yani.
“Mau kemana?’, tanya Mardi.
“ Pulang”, jawab Yani.
“Tidak boleh”. kata Mardi sambil melompat satu tebing bawah dan memanjat pohon ‘wuni’. Dipilihnya buah yang berwarna merah tua. dipetik berikut ranting kecilnya kemudian dijatuhkan dekat Yani yang masih berdiri.
“Ditangkap, kok didiamkan saja”, seru Mardi yang melihat Yani membiarkan buah itu jatuh didekatnya. Yani-pun lantas menangkapi tangkai demi tangkai buah ‘wunu’ yang dilemparkan Mardi. Cukup sudah. Mardi terjun dari pohon ketinggian tiga meter ke bawah dan langsung mengambil patahan patahan tangkai buah ‘wuni’ yang tak berhasil ditangkap Yani. Memakannya satu satu. Yani hanya diam sambil menggenggam beberapa tangkai buah ‘wuni’.
“Tidak doyan?”, tanya Mardi.
“Suka”, jawab Yani sambil memetik dan memakannya satu demi satu. Berdua menuruni bukit bukit sambil terus memakan buah ‘wuni’.
“Simprah, adikku selalu ketakutan kalau aku ajari memanjat pohon akhirnya akulah yang disuruh suruhnya memanjat”, kata Mardi. Yani ikut merasakan betapa sayangnya Mardi pada adiknya. Hanya Yani tak berani menanyakan keberadaan Simprah adiknya. Sedih kehilangan terpancar pada sorot mata Mardi.
“Buah ‘wuni’ dan ‘nam-nam’ sangat disukai Simprah”, tambahnya. Yani tak bisa berkata apa apa, menjadi pendengar terbaik saja. Sepanjang perjalanan ke rumah Ningsih, Mardi bercerita tentang daerah asalnya, juga kegiatannya sehari hari sebagai gembala kambing bersama adiknya. Sedikit diceritakan juga kenapa sampai hidup menggelandang di sekitar Muntilan. Sepertinya Mardi memang sedang membutuhkan teman untuk mendengarkan curahan hatinya. Sementara Yani sangat senang sekali mendengar Mardi bercerita. Entah apa yang sedang terjadi pada lubuk hati Yani, seumur jagung masih terlalu lama anggapanya, tapi seperti sudah mengenal Mardi kurun waktu yang lama. Yani merasa nyaman di dekat Mardi meskipun sempat memarahinya tanpa sebab.
Rumah Ningsih sudah kelihatan dari jarak sekitar 300 meter. Ada kerumunan di kebun Ningsih; Ningsih sendiri, simboknya, Han Han, Kholili, Supri dan beberapa pemuda Kangkungan.
“Mardi, Yani cepat kemari”, teriak Han Han. Mardi dan Yani mempercepat langkahnya.
Pohon pisang yang tadi pagi ditusuk tusuk oleh Yani dengan pisau Sundang Majapahit layu mengering. Dapat disimpulkan bahwa pisau yang dibawa Yani benar itu ‘babon pisau’. Yani terpaku dengan keanehan ini, senang karena kemungkinan besar Atmo bisa disembuhkan tetapi juga terbayang ngeri mengingat kakaknya yang nasibnya tak beda dengan pohon pisang layu mengering.
“Terus, bagaimana ini?’, tanya Han Han. Bingung juga dengan apa yang mau dilakukan.
“Ikuti saja lik Ami dan Lik Hadi Saleh, ingat kan”, kata Ningsih.
“Duk remah, aku setuju ae kambek Ningsih”, kata Kholili.
“Aku percayakan padamu Han, kamu yang melaksakannya”, kata Mardi.
“Bukannya aku ndak mau, cuma aku ndak berani pegang pisau itu”. Han Han.Benar juga Han Han, siapa yang akan berani memegang pisau itu. Satu satunya hanya Yani.
“Bagaimana Yan?’, tanya Mardi pada Yani.
“Apa boleh buat mas, tapi jangan salahkan aku kalau terjadi apa apa pada kang Atmo”, jawab Yani ragu ragu juga. Akhirnya disepakati, Yani yang menusuk jempol kaki Atmo dengan bimbingan Han Han. Segera Han Han mengatur segala uba rampe yang dibutuhka; Ningsih dan simboknya menyediakan air panas Mardi, Kholil dan Supri menggeser Atmo agar racunnya nanti langsung ke tanah.
“Mas Mardi yakin aku yang melakukan?’, tanya Yani. Mardi menatap wajah Yani yang kuatir, dijawab dengan senyum dan menggangguk. Atas saran Han Han, Mardi memegang kepala Atmo sementara Kholili dan Supri masing masing memegang tangan Atmo. Ningsih dan Simboknya berdiri dekat Han Han. Dengan agak gemetardengan pisaunya Yani menusuk jempol kaki kanan kemudian yang kiri. Tidak terjadi apa apa. Atmo justru semakin pucat wajahnya. Han Han mencoba memijit kedua jempol Atmo, tidak berhasil. Wajah wajah bingung ketakukan semakin jelas. Yani yang sudah berkaca kaca hanya menatap Mardi yang jelas bingung dan takut dan mengarahkan pandangaanya ke Han Han. Han Han paham dengan tatapan Mardi padanya.
“Dari pada berhenti pada kebingungan dan ketakutan, harus segera ambil resiko terburuk”, kata Mardi tegas. Han Han mencoba mengingat jalur jalur saraf tubuh, membaca denyut nadi pergelangan tangan, tengkuk, lipatan paha, lutut dan bagian tengah telapak kaki. Han Han juga menyuruh Kholili dan Supri memencet kuping Atmo kanan kiri.
“Maafkan aku kang Atmo”, kata Han Han sambil membimbing Yani bagian mana yang ditusuk. Kedua ujung jari manis kaki ditusuknya. Baru mau diarahkan bagian dalam telapak kaki, tubuh Atmo mengencang begerak sendiri.
“Pencet keras keras kupingnya”, teriak Han Han, Supri dan Kholili memncet kuping Atmo semakin kencang. Tubuh Atmo menggelinjang tak karuan, dan dari kedua jempol kakikinya keluar cairan waran kuning kemerahan, mengucur deras kemudian berganti darah beku kehitaman hanya menyembul dan tetap menempel.
“Yan, robek saja lebih lebar, tusuk sekali lagi”, kata Han Han juga. Yani merobek lebar kedua jempol Atmo. Darah beku itu jatuh ke tanah. Gerak tubuh Atmo semakin kencang ditambah teriak teriak pula.
“Yani, lanjutkan”, teriak Han Han. Namun Yani ketakutan dengan darah kental tak henti hentinya keluar dari jempol kaki, disusul dari jari manisnya. Telapak kaki Atmo sudah tertutup darah.
“Cepat lanjutkaaann”, bentak Han Han. Yani menusuk bagian tengah telapak kaki.
“Bukan langsung ditusuk, dirobeeek dulu”, bentak Han Han lagi. Sanbil menangis Yani merobek bagian tengah kedua telapak kaki. Keluarlah gumpalan darah kehitaman yang nyaris mengkristal. Barulah kemudia keluar darah merah segar. Bersamaan menarik nafas panjang. Atmo nafasnya mulai teratur meski wajah seputih kain ‘mori’. Kholili dan Supri mengibas kibaskan tangannya sendiri. Ningsih dan simboknya yang harus tahan nafas cukup lama pergi kedapur mengambil sebaskom air garam. Mardi beranjak dari duduk besilanya, menuruni tempat tidur, menghamipiri Yani yang masih gemetar ketakutan duduk dilantai tanah, lantas memeluknya.
“Kang Atmo selamat, trima kasih ya”,bisik Mardi pada Yani. Sepatah katapun tak keluar dari bibir Yani, hanya mempererat pelukan hingga tangannya merasakan degup jantung Mardi.

#Ket foto Atmo sebelum dikeluarkan dr sekolah Belanda.



Oleh: Gati Andoko

9 November pukul 01.27
Advertisement

Baca juga:

Blogger
Disqus
Pilih Sistem Komentar

Tidak ada komentar