CO PATRIOT VI  #Lanjutan

CO PATRIOT VI #Lanjutan

CO PATRIOT VI
#Lanjutan

Oleh: Gati Andoko

Operasi Bumi Hangus terlewati satu hari.
Entah apa yang terjadi di Muntilan. Inilah yang membuat mereka mempercepat langkahnya, kadang berlari lompat kijang juga sambil memainkan memukul mukul dengan senjatanya rumpun bambu kanan kiri jalan yang nyaris menyatu menutupi jejalanan. Han Han dan Mardi yang mempunyai dasar musikalitas mulai memukuli rumpun bambu dengan ritme terjaga, disusul Kholili mengambil sela ketukan, Atmo memberi aksen nge-gong-i sementara Rambat memukul bamboo sekenanya. Tiupan angin yang mengakibatkan pucuk pucuk bambu memberi harmoni tersendiri. Ahaaa! Keceriaan satu satunya yang mereka punya ditengah maut yang selalu mengancamnya.
“Sinden Sukati punika sampun kula thinthing, sumangga kula aturi nyekar hahaha…”, Rambat mulai menggoda Mardi, Kholili dan Han Han.
“Leeeek elek elek eleeek. Rambat eleek ambune kaya teleekkk”, Kholili nembang meledek Rambat. Komposisi rumpum bambu berhenti.
“Hahahaha….”, tertawa bersama.
“Wis yuk…ojo guyonan, keburu.udan’, Atmo
Merekapun melanjutkan perjalanan dengan langkah yang lebih cepat lagi mengingat mega mendung sudah mulai menutup langit.
“Han, kowe kok isa kalah ki piye”, Rambat mencoba mengingat kejadian perkelahian satu lawan satu kemarin.
“Ya tidak apa apa mbat, ada kalanya menang tapi bisa juga kalah”, Atmo.
Han Han menoleh kearah Kholili dan Mardi, bertiga cuma tersenyum. Sepertimya hanya mereka bertiga yang tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Tak terasa, sudah mendekati jembatan sungai Progo Klangon yang tinggal sejauh 2 kilometer lagi. Jalanan mulai menurun. rumpun bambu kanan kiri jalan sudah semakin jarang. Jembatan sungai Progo mulai tampak dari jarak pandang dua ratusan meter,terdengar suara suara teriak kebingungan. Teriakan semakin terdengar jelas orang orang yang sedang bergegas menuruni tebing sungai. Benar, begitu sampai jembatan Rambat yang sampai lebih dulu mengacung acungkan tangannya kebawah arah sungai,tergagap bicaranya saat melihat orang orang berhamburan terjun kesungai.
“Hughhh kkkkae kae….”, tergagap Rambat dan tetap mengacung acungkan tangannya ke bawah. Atmo yang tanggap dengan situasi ini segera memerintah keempat temannya segera memberi bantuan dan segera menuruni tebing sungai.
“Mardi,turun sebrang selatan dan cepat arahkan mereka jangan sampai memasuki kedhung (jeram)”, Atmo
Berempat berlari menyeberang jembatan lantas menyelusuri tebing pinggir sungai sebelah utara.
“Rambat, hambat musuh sebisanya jika perlu, ingat jika perlu”, lagi lagi Atmo dengan sigap mengatur strategi darurat. Atmo, Han Han dan Kholili memandu para pengungsi yang sebagian besar laki laki yang sudah mulai menceburkan diri ke sungai Progo untuk menyelamatkan diri dari pasukan Belanda yang mengejarnya.
“Sederek sederek ampun mlebet kedhung, sebelah kidul, niku niku”, teriak Atmo yang semakin kebingungan dengan situasi yang amat darurat ini. Mardi yang memang pintar berenang berjaga di tengah sungai, sambil mendorong kearah pinggir orang orang yang terlanjur terjebur di tengah.
“Aduh pak, kok ndadak ngajak putrane taksih alit ngaten”, gerutu Mardi yang melihat satu orang pengungsi mengendong anaknya yang terus nangis pula.
“Simbokne ketembak wau”, jawab pawongan memelas.
Atmo melihat adanya anak kecil yang terus menangis segera turun, sementara Kholili dan Han Han berjaga diatas sembunyi dibalik akar lebat pohon beringin.
“Kula gendhone pak, sampeyan mepet pereng nggih? Pinta Atmo kepada pawongan yang menggendong anaknya..
“Kang, tentara Belanda sudah mendekati jembatan”, teriak Han Han
Atmo yang menenggealmkan setengah badan dirinya sambil menggendong anak yang masih juga menangis.
“Cuup cup nduk”, Atmo mencoba menenangkan dengan mengambil air sedikit dicipratkan ke kepala anak itu. Anak kecil perempuan itupun tenang meski masih terisak tangisnya. Hanya deburan arus sungai Progo yang cukup deras. Han Han dan Kholili terus mengawasi terus pasukan Belanda yang berhenti yang pandangannya menyisir segala penjuru. Ratusan pengungsi yang sebagian bersandar pada cekungan tebing dan sebagian menenggelamkan dirinya ke sungai sudah tida bisa terbaca kegelisahannya. Hujan mulai turun. Tentara Belanda masih menyisir seberang jembatan sedikit naik perbukitan dengan senjata yang siap ditembakkan. Atmo memberi aba aba dengan gerak tangannya kepada Han Han dan Kholili agar bertindak jika keadaan memaksa.
“Mardi, berenanglah ikuti arus sungai, pusatkan perhatian kepadamu, hati hati”, berbisik.
Tanpa menjawab Mardi langsung mengikuti arus sungai dengan menenggelamkan seluruh tubuhnya. Hujan semakin deras. Berlarian tentara Belanda kearah truknya dan berbalik arah, kembali.
“Sebentar pak, tunggu aba aba”, Atmo meminta para pengunsi yang sudah setengah jam berendam untuk tetap bersabar. Sepuluh menit kemudian.
“Amaaaaannnn”, teriak suara Rambat yang sudah berdir diatas jembatan.

Kembali ke Desa pengungsian Sokorini. Masih Hujan. Sabetan petir dan gelegarnya masih menggema. Di pekuburan, perempuan perempuan terpaksa menggali tanah untuk beberapa mayat yang mau dikubur tanpa dibungkus kain kafan. Begitu saja apa adanya. Menyusul kemudian para lelaki menggantikan para perempuan yang kerepotan menggali liang kubur. Tak ada tangis terdengar namun terpendam jauh sebelum liang kubur selesai digali.
Jalanan dari arah candi Ngawen, dokar melaju cepat dan berhenti di depan pendopo rumah pak Lurah Sokorini. Kusir mengikatkan kekang tali kuda pada tiang pendopo rumah dan langsung membopong satu satu 11 anak anak menurunkannya. Atmo dan keempat temannya turut membantu.
“Lhoh. Kok sampeyan mbah”, seru Mardi.
Ternyata kusir dokar itu tak lain adalah pengamen tua yang sangat dikenalnya. Lain dari seperti yang pernah dilihat, pengamen tua selalu ceria murah senyum sekaligus khas tawanya, kali ini nampak murung dan menyimpan kesedihan.
“Tak bisa tuntas le, masih banyak orang yang belum “nglili”/ngungsi, terutama anak anak’, kata pengamen tua itu sambil melepas topi capingnya dan memeras baju surjan yang teramat basah.
“Bener bener sudah tidak terkendali”, lanjutnya.
Atmo, Mardi, Han Han, Kholili dan Rambat hanya terdiam menunggu apa yang mau diceritakan oleh pengamen tua. Itu. Meski basah kehujanan pengamen tua mengambil topi caping untuk dijadikannya sebagai kipas. Berlima dengan mendekapkan tubuh mendengarkan pengamen tua yang bercerita situasi dan kondisi sepeninggal beranjak ke Bogowonto.
Muntilan sangat tak terkendali dibanding Magelang. Barisan Pemberontak Repoeblik Indonesia (BPRI) yang didukung TNI, juga mobilisasi masa dari anak anak sampai orang tua Magelang sangat rapi dalam menjalankan operasi Bumi Hangus. Gedung gedung yang ditengarai akan diduduki Belanda dihancurkanr;SR IV,Syoto Cho Gakko, Panti Peri. Hotel Montage, Hotel Nitaka, sementara yang jadi abu antara lain Markas Brigade Polisi, markas ALRI, gedung Asia Raya dan lain lain. Rapi, tak ada korban jiwa
“Sedang di Muntilan…..”, pengamen tua menghentikan pembicaraan dan hanya menghela nafas dengan pandangan jauh namun kosong. Atmo mengurungkan menghisap rokok klobot yang baru saja disulutnya dan memberikan pada pengamen tua. Pengamen tua menyambut batang rokok dan langsung meniup api yang belum rata menyala. Dijilatnya batang rokok agar basah tak cepat habis saat dihisapnya.
Mulanya, rakyat Muntilan bahkan anak anak sekolahpun dilibatkan dengan masing masing membawa seikat blarak/daun kelapa kering tentu saja dipandu oleh guru gurunya diawasi oleh satuan TNI yang dating dari Magelang, gedung sekolah belakang Klentheng dibakar, berlanjut pada bekas rumah dan gudang milik Khoo Kim Guan yang sudah tanpa tuan. Tak ada yang mengira, dari arah Jogya dengan menggunakan truk segerombolan pemuda dan orang tua berpakaian pejuang turun beramai ramai menjarah rumah rumah sepanjang pecinan berbenturan dengan pasukan “grayak’ dari lerang Merapi Merbabu yang juga ingin menjarahnya, gerombolan pemuda PKI yang selama ini bergerak bawah tanah muncul ke permukaan.
“Rudhet le, persis apa yang aku tebak sebelum kalian berangkat ke Bogowonto”.
“Yang bisa aku perbuat, cuma menyelamatkan anak anak yang sudah terlajur terlibat”, tambahnya. Rambat mulai gelisah, berdiri melempar gulungan bajunya. Atmo menerawang jauh ke pasturan yang telah membiayai saat saat sekolah dulu hingga memperoleh pendidikan KNIL dan di Pasturan itu juga hidupnya ditopang semenjak peristiwa Palagan Ambarawa usai. Meskipun dirinya seorang muslim, baik Romo Soegija sampai Romo Richardus Kardis Sandjaja sangat telaten membimbing Atmo menjadi sosok yang berguna bagi bangsa ini. Tanpa pamrih. Batinnya, kalau terjadi sesuatu yang buruk pada diri Romo Sandjaja, tak ada seorangpun yang bias menghalanginya untuk balas dendam. Mardi, meski baru rencana sekolahnya nanti mau dibeayai oleh pihak pasturan, dalam benaknya juga pasturan. Jadikah aku sekolah guru? Kholili dan Han Han yang hidup sebatang kara ikut larut dalam batin yang dirasakan oleh Atmo dan Mardi begitu dalam. Hujan reda. Wedang jahe penghangat tubuh dibagikan oleh ibu ibu pengungsi berikut telo pendhem rebus.
“Bruderan bagian belakang dibakar”, pengamen tua melanjutkan ceritanya. Dada Atmo serasa ikut terbakar, mata hitamnya sudah mulai membesar.
“Gerombolan itu yang mengatasnamakan dirinya gerakan Hizbullah datang dari Kauman”, lanjutnya. Harapan Atmo Cuma satu, jangan sampai pengamen tua menyebut nama Romo Sandjaja.
“Romo Sandjaja….’, pengamen tua itu menyebut nama. Mata hitam Atmo berputar kencang diikuti gemetar tubuhnya legam bak jelaga.
“Sedianya Romo Sandjaja dan Frater Herman A. Bouwens melindungi para misionaris dengan menyerahkan dirinya pada gerombolan itu, namun di dusun Kambaran Patosan…..”, belum juga selesai cerita diselesaikan pengamen tua, Atmo berteriak keras memcah suasana tintrin sekitar pengungsian hingga terdengar sampai ujung desa.
“Romoooo………!
Diserobotnya senapan yang sedang dikeringkan Han Han, Atmo melompati para pengungsi yang sedang tiduran lari ke arah utara dan tetap teriak memanggil manggil “romo”. Desa Pengungsian geger seketika, berlarian berebut untuk mencegah Atmo yang sangat kalap. Mardi, Han Han, Kholili dan Rambat lintang pukang mengejar Atmo. Mardi sang adik berhasil mengejar dan menghadang dipukul hingga terjermbab di genangan air hujan. Setan apa yang merasuki. Atmo ngamuk, dan memukul menendang orang orang yang mencegahnya. Tak urung Han Han, Kholili dan Rambat terkena hantaman Atmo yang kesetanan. Pengungsi yang lain tak satupun berani mendekat. Satu satunya terakhir yang berani mendekat hanyalah pengamen tua. Yang terjadi justru Atmo mengokang senjatanya dan mengarahkan ke pengamen tua.
“Kamu yang menyuruhku meninggalkan Muntilan”.
“Tembaken le….ayo tembak’, pengamen tua dengan lantang. Atmo tinggal sepersekian detik menekan pemantik senjata.
“Kang….”, suara perempuan dengan tangan menyentuh pundak Atmo. Atmo kehilangan satu tulang iganya, roboh. Perempuan itu adalah seorang yang sedang mengandung darah daging

#bersambung



Advertisement

Baca juga:

Blogger
Disqus
Pilih Sistem Komentar

Tidak ada komentar