CO PATRIOT VI  #OperasiBumiHangus

CO PATRIOT VI #OperasiBumiHangus

CO PATRIOT VI
#OperasiBumiHangus

Oleh: Gati Andoko

Clash II, 19 Desember 1948.
Toko toko ditutup. Para penjual dan pembeli pasar Muntilan bergegas pulang terutama kaum perempuan, orang tua dan anak anak. Tinggalah beberapa kerumunan pemuda di beberapa los los pasar yang sudah ditinggal para pedagang. Kantor Mantri pasar menjadi titik kumpul terbanyak mengerumuni radio transistor dengan volume suara yang keras. Ketegangan dan ketakutan menyelimuti mereka sebagian besar dari mereka yang me dengarjan berita Jogyakarta telah diduduki Belanda.
Jam 08.00 suara Djendral Soedirman membacajan Surat Perintah Siasat Nomor 1 melalui corong Radio, bahwasanya dianjurkan untuk tidak melakukan pertahanan linear, memperlambat gerak majunya pasukan musuh, pengungsian besar besaran bagi warga yang tidak ikut berperang, membentuk pos pos pejuang di setiap onderdistrik yang dekat dengan daerah pegunungan sekaligus menyediakan ruang bagi pejuang pejuang yang datang dari daerah daerah federal yang menyusup garis musuh (wingate). Dan "operasi bumi hangus" semua bangunan yang dimungkinkan akan ditempati Belanda harus dibakar.
Pidato Djendral Soedirman selesai. Mantri Pasar mematikan radio, mengunci pintu kantor pasar dan pergi begitu saja. Kerumunan bubar seketika. Han Han, Mardi, Kholili, Rambat dan Atmo tidak beranjak dari tempat sejak dari tadi bersama sama mendengarkan radio. Pengungsian besar besaran terjadi, penduduk kota sebelah utara jalan Pecinan menuju daerah Dukun, selatan jalan Pecinan mengungsi ke selatan dan tersebar di desa Ngawen, Sokorini hingga seberang sungai Progo.
Sepinya pasar itu seperti "balai somah" tanpa adanya anak anak. Merpati merpati liar yang biasanya mengikuti ramai kumandangnya pasar tinggal menyisakan beberapa ekor hinggap di bango bango yang belum juga ada makanan sisa. Berlima; Atmo, Rambat, Kholili, Han Han dan Mardi terduduk lesu tak tahu apa yang harus diperbuat setelah mendengar berita tak terduga. Rambat yang biasanya reaksioner kali ini cuma terduduk lesu kebingungan. Atmo satu satunya yang nampak dari gerakan tangannya sedang mencoba mengatur strategi. Mardi, Han Han dan Kholili berhadapan memutar memainkan kotoran merpati sebagai pengisi kebingungannya.
"Le....!
Berlima melompat kaget begitu ada suara memanggil dan ada orang didekatnya tanpa tahu sana sekali kehadirannya. Berlimapun serempak ngungun begitu melihatnya.
"Lhoh, mbah".
Dialah pengamen tua yang pernah diamati gerak geriknya oleh Atmo dan sempat ditolong Mardi sewaktu mau dilindas mobil tentara Balanda yang menyebabkan siternya hancur (#PasarMaskumambang).
"Wah simbah wis ngageti ya hehe (wah simbah sudah mengagetkan ya)".
"Cah enom kok kagetan haha...", lanjutnya.
Pengamen ( tukang mbarang ) tua itu nampak biasa, tidak gelisah ataupun ketakutan. Berlima masih terdiam dalam kagetnya.
"Aku ngerti kok kalau kalian itu sedang bingung, tak tahu apa yang mau dilakukan, keadaan ini memang sangat membingungkan".
"Nggih mbah", jawab berlima kompak.
Lanjutnya, dijelaskanlah situasi bangsa yang belum lama merdeka harus berhadapan dengan Belanda lagi ditambah pemberontakan pemberontakan oleh bangsanya sendiri. Laskar Hizbullah merasa didzolimi oleh penguasa mulai menebar ketakutan dan kekacauan, para "benggol/rampok" kisaran lereng gunung Merapi Merbabu tak henti hentinya menggrayak harta benda, Muso dan Amir Syarifudin terus menerus mengadakan rapat rapat gelap di daerah Manisrengga Jogya. untuk menjalin kekuatan demikian juga mata mata Belanda yang terdiri dari orang orang pribumi ikut menciptakan suasana semakin mencekam.
"Rudhet le".
Keheranan berlima terhadap pengamen tua ini nampak tak bisa dipungkiri. Benar benar banyak wawasan orang tua ini. Siapa?
"Untuk sementara kalian lebih baik jangan melibatkan diri dalam operasi bumi hangus, simbah ini tahu bagaimana sepak terjang kalian hehe.. ".
"Lha simb...", terputus pertanyaan Mardi
"Ngene ya le, aku ngerti apa sing arep kok takokne marang simbah iki, isih akeh wektu nek mung pengin ngerti simbah ki sapa".
Selanjutnya, pengamen tua menyarankan untuk memilih salah satu dari Surat Perintah Siasat Nomor 1, bukan ikut dalam operasi "bumi hangus" untuk menghindari salah paham antar bangsa sendiri melainkan konsentrasi atas usaha memperlambat gerak maju musuh.
"Kreteg kali Bogowonto, ambrukna".
Benar juga. Atmo dengan naluri militernya mengakui kepintaran pengamen tua itu. Dengan dirobohkannya jembatan sungai Bogowonto akan memutus laju gerak tentara Belanda Jogya- Benteng Van Der Wicjk Gombong.
"Aku tak ngawat awati kutha Muntilan kene, yah moga moga wae ora ketembsk Landa hahaha...", tawa pengamen tua sangat renyah.

Dengan masih tanda tanya perihal pengamen tua, berlima langsung menuju puncak Gunung Pring untuk mengambil senjata dan tentu saja dinamit yang dipendam dekat cungkup Kyai Raden Santri guna meledakkan jembatan sungai Bogowonto. Atmo dengan senjata laras panjang demikian juga Han Han, Kholili dan Mardi, Rambat tetap dengan pistol setianya juga belasan dinamit terbungkus kain diikat tali rami diselempangkannya.
Berangkat, menuruni puncak melewati reruntuhan candi Ngawen ke selatan desa Sokorini, menyeberang sungai Progo, menaiki bukit menoreh. Kalibawang sudah dilewati, mendekati daerah Samigaluh terlihat sebagian pengungsi dari Muntilan tinggal disini. Tak sempat singgah sedetikpun, berlima melanjutkan perjalanan berhenti sebentar di Dekso sore hari.
"Masih jauh ndak ya? Tanya Han Han.
Tak ada jawaban dari mereka berempat yang tengah mengatur nafas. Hujan gerimis mulai turun. Segera Mardi mencari beberapa lembar daun pisang.
"Mbat, dinamit biar tak basah", panggil Mardi sembari memotong lembaran daun pisang. Rambatpun bergegas lari membungkuk sekedar menutupi bungkusan dinamit agar tidak tertembus air. Setelah rampung, kembali menaiki bukit Menoreh yang semakin tinggi. Jalan setapak yang licin membuat perjalanan semakin melelahkan. Hujan semakin deras dan terpaksa perjalanan terhenti di daerah Watu Blencong. Dibawah bebatuan besar itulah berlima berteduh dan tertidur dengan baju yang basah kehujanan.
"Masih jauh ndak ya", kembali Han Han bertanya.
"Ah koen iku Han", Kholili.
"Aku itu cuma mbayangke seandainya sinden Sukati ikut" canda Han Han
"Tak wudani", sahut Rambat
"Ndak bisa", Mardi, Kholili dan Han Han menjawab dengan kerasnya dan melotot kearah Rambat.
"Uwis, perjalanan masih jauh apalagi hujan deras begini, tidur saja mumpung bebatuan ini memberi kehangatan tersendiri", perintah Atmo.
"Luwih anget ngeloni sinden Sukati", lagi lagi Rambat menyahut sekenanya.
"Tak tembak lambemu", kembali Han Han, Kholili dan Mardi menjawab kompak.

Medan sesulit ini niscaya bisa ditempuh jika tak hafal medan. Beruntung Atmo yang pernah mengalami pendidikan KNILcukup menguasai tapak tilas perjuangan Pangeran Diponegoro ini. Medan yang sulit ini juga, mereka berlima sampai di daerah Temon tepat sebelah utara pemakaman trah Paku Alaman Girigondo. Sangat rawan meledakkan jembatan Bogowonto di siang hari. Maka diputuskanlah menunggu hingga menjelang malam di sekitaran itu juga.
Tak tahu.
Entah datang dari mana, segerombolan serdadu berpakaian pejuang laki laki dan perempuan membentak sambil menodongkan pucuk senjatanya.
"Letakkan senjata dan barang yang kalian bawa, berdiri", perintah dari salah satu serdadu.
Membatin Atmo, ini kedua kalinya dari kemarin kaget luar biasa. Rambat yang memang emosional berdiri sigap dan balik menodongkan pistolnya. Serempak, serdadu yang mengepung mengokang senjata. Salah satu dari mereka yang berbadan kekar menghampiri Rambat dan bersiap memukulnya, namun tiba tiba Han Han mencegatnya. Serdadu berbadan kekar dengan wajah geram mengayunkan tinjunya ke dada bagian kiri Han Han sambil memaki.
"Dasar China".
Han Han terlempar jauh tepat dalam tangkapan Rambat.
"Baik kalau mau ngajak bermain", serdadu berbadan kekar menantang satu lawan satu perkelahian tangan kosong. Tantangan itupun disambut oleh Han Han. Dua gerombolan yang berseberangan dengan sendirinya membentuk sebuah lingkaran sama sama melihat perkelahian antara Han Han versus serdadu berbadan kekar.
Perkelahian terjadi.
Han Han yang bertubuh kecil berinisiatif menyerang lebih dulu. Pukulan dan sabetan berkali kali oleh Han Han tak membuat musuhnya terjatuh bahkan kesakitan. Justru setiap tinjunya melayang ke badan Han Han, terlemparlah Han Han beberapa meter. kebelakang. Keadaan seperti ini Han Han lebih banyak melacjarkan pukulan dengan telapak tangan terbuka. Tak urung suara "plak" terdengar berkali kali. Ini yang membuat serdadu berbadan kekar merasa dipermainkan. Dengan kekuatan penuh tinju dilayangkan ke arah perut Han Han. Han Han tersungkur mengerang kesakitan dan memaksa berdiri dengan posisi menghormat kalah.
"Apa yang kalian inginkan dari kami, silahkan ambil kecuali nyawa", kata Atmo secara jantan mengakui kekakahan namun tetap akan melawan jika kematiannya yang diinginkan.
"Ah, jangan dipusingkan anggap saja ini sedikit canda, maafkan". Mereka ini ternyata pasukan Teratai bentukan dokter Moestopo yang berusaha menghambat laju gerak pasukan Belanda.
Lega.
Terhindar dari kesalah pahaman. Segerombolan pasukan Teratai menyetujui jembatan Bogowonto diledakkan.

Jembatan Bogowonto berhasil diledakkan malam harinya.
Bersama mereka pulang, pasukan teratai ke Jogya sementara Atmo, Mardi, Kholili, Rambat dan Han Han menuju Muntilan. Berpisahlah mereka di perempatan Kentheng.

#bersambung
Sumangga, dimas Wahjudi Djaja, Ayu Chandra K, Lucky Jaka, Ivan Asick, Semar Be Ka, Bayu Bersemu Merah Jambu, Sulistyo Asmoro lan sederek sanesipun.


Advertisement

Baca juga:

Blogger
Disqus
Pilih Sistem Komentar

Tidak ada komentar