CO PATRIOT  #Lanjutan II

CO PATRIOT #Lanjutan II

CO PATRIOT
#Lanjutan II

Oleh: Gati Andoko

Malam larut.
Kejadian sore tadi menyisakan suasana teramat tintrim. Jlegur jeram sungai Progo berpadu dengan suara batu berbenturan membuat para pengungsi kesulitan tidur. Terlebih Atmo, bayangan wajah Romo Sandjaja tak lepas dari pandangan matanya yang bengkak fmemerah. Rahayu, yang tengah mengandung anak Sarwi nyaris tak beranjak dari lincak dan tetap menunggui Atmo. Meski keduanya juga tak banyak bicara. Kalau toh terucap hanya sekedar kalimat menawari minum atau makan. Rambat, Kholili dan Han Han bersama warga lainnya berjaga jaga bergantian. Mardi tak mau jauh jauh dari Atmo, sambil ngobrol ngobrol dengan pengamen tua yang tengah asyik menggosok gosok kuda dokar milik pak Lurah desa Sokorini. Entah apa yang diobrolkan kedua orang itu. Memang dari sekian banyak orang yang merasa ketakutan cuma pengamen tua saja yang terlihat sangat menikmati hari har yang tergambar tembang macapatan dan tembang akhir dilantunkan setelah merawat kuda dokar, pinjamannya.

Asmarandana.
Rebo wage mbenjang neki
Ambyuk karem ing karamat.
Darmaing tyas negarane
Ginawan antebing jaja
Kridha manunggal asta
Raos tresna bakenipun
Njagi nusa klawan bangsa

Setidaknya, tembang Asmarandana yang dilantunkan pengamen tua ini bisa jadi penghantar tidur sejenak. Mardi yang sedari tadi menemani pangamen tua dan sesekali menengok keadaan Atmo tertidur dengan menyandarkan dirinya pada tiang pendopo. Yah,semua tidur kecuali pengamen tua yang masih beres beres, baru setelah itu bersuci diri dan pergi ke Masjid.

Dini hari.
Pengamen tua tengah khusyu' berdzikir. Bergantian keluar masuk Masjid orang orang melakukan sholat malam. Mardi, Kholili dan disusul Atmo hampir bersamaan memasuki Masjid untuk sholat dan berdzikir. Atmo nampak biasa meskipun sebam matanya belum juga menipis. Han Han dengan keyakinannya numpang di serambi Masjid bersimpuh dan berdoa dengan caranya. Hanya Rambat yang belum tampak geliatnya. Tertidur pulas rupanya. Pengamen tua membalikkan badanya tetap dalam posii bersila.
"Han, masuk sini".
Han Han memasuki Masjid dengan ragu ragu. Atmo, Mardi dan Kholili menyelesaikan dzikirnya demikian para pengungsi duduk melingkar menunggu pengamen tua bicara. Dibalik tambir Masjid beberapa perempuan ikut mendengarkan.
"Menurut kabar yang aku dengar kemarin, hari ini hari Rebo Wage bulan Sapar, Belanda akan mengerahkan bala tentara besar besaran di seantero Magelang, sumangga apa yang sebaiknya kita lakukan".kata pengemus tua.
"Usahakan kita tetap mematuhi instruksi Djendral Soedirman untuk tidak melakukan pertahanan linear", Mardi
"Aku tetap mencoba mencari warga yang masih terjebak di kota dan membawanya kemari",pengamen tua.
Atmo yang memegang teguh prinsip; sedih bolehlah sedih tapi harus hilang bersama tidur meski sekejap. Segera Atmo mengatur setrategi untuk menghambat masuknya pasukan Belanda dari Jogya.
"Sederek sederek, setelah misi penyelamatan warga tersisa selesai; saya, Kholili dan kemungkinan Rambat segera menyusul yang bagian utara jalan dusun Pulosari, Han Han dan Mardi menyusul yang di Gremeng balik gunung Gendhol, tetap sembunyi apapun terjadi sebelum kedatangan kami, paham! Rambat belum juga datang. Sementara kerumunan orang orang yang merelakan dirinya untuk ikut berjuang sudah mulai mempersiapkan senjata apa adanya
"Pak pak...". Suara panggilan seorang anak kecil usia 7 tahun sambil berlari mendatangi kerumunan yang masih berdiri di depan Masjid.
"Aku dikongkon kang Rambat nek anu apa kui nganu", tergopoh gopoh bicaranya.
"Jyancuk", Kholili membatin Rambat yang melibatkan anak kecil, malam malam lagi.
"Nganu, Rambat nunggu nang pasar Mati nggawa mercon akeh banget, terus terus...ngene, aku njuk ditomprang dewe kon ngomong nang kene, lha aku ya nganu...mlayu, wedi ndak ketemu apa kae...memedi".
Dhemit. Rambat dhemit. Anak sekecil ini disuruh jalan sendiri dari Gunung Pring sampai Sokorini. Dhemit.
"Wis kono saiki bobok sik", pengamen tua menyuruh anak kecil itu tidur. Anak kecil itu jalan menuju pendhopo.
"Le...kowe kabeh". Sepertinya hal penting apa yang mau dikatakan kepada Atmo, Msrdi, Han Han dan Kholili.
"Hari ini Rebo Wage, bulan Sapar sadwara wuku wurukung , dene alane bangsa pandewan, yah bagaimanapun aku ini orang Jawa hehe...". Tawa renyah pengamen tua yang selalu dirindukan. Kata kata yang sulit dimengerti bagi Atmo, Kholili terlebih Han Han, barangkali hanya Mardi yang sedikit memahami.
"Namaku Sapari, panggil saja mbah Sapar:".
Cukup lama mereka tahu sama tahu, pengamen tua hafal nama nama kelima sahabat, namun nama sejati pengamen tua baru kali ini diketahuinya.
"Kholili, ayo jadi kusir hehehe...ya sekali sekali jadi raja nan mulia duduk di kereta kencana", mbah Sapar alias pengamen tua berseloroh. Segera menaiki dokar seorang raja mulia didampingi tiga pengawal yang sangat mengasihinya juga seorang kusir pintar membswakan lajunya kereta kencana.
"Kang".
Kholili menahan tali kekang kuda yang mulai jalan. Atmo turun. Melihat orang yang memanggil adalah Rahayu istri mendiang Sarwi, Kholili memajukan dokar agak menjauh dan memalingkan muka seolah tak sedang melihatnya.
"Kang Atmo, berjanjilah pada bayi yang kukandung ini, kang Atmo harus datang saat lahiran nanti". Rahayu memegang tangan kanan Atmo dan ditempelkan ke perutnya. Atmo hanya terdiam bisu.
"Pamit jeng". Berkata Atmo sambil memandang wajah Rahayu tersaput gelap menjelang pagi. Atmo berlari menaiki dokar membiarkan Rahayu yang masih tegak berdiri hingga bunyi suara langkah kuda hilang.

"Tangi".
Bentak Kholili sambil menendang patat Tambat yang tidur memeluk karung isi dinamit.
Bunyi bedug dan kenthongan tanda waktu subuh seribanya di Pasar Mati Karang Watu. Bergantian mengambil air wudzu mbah Sapar, Atmo, Mardi dan Kholili dan bergantian pula sholat subuh di balai balai yang sempit dan rusak.

Jarak antara Pasar Mati dengan jalan utama (pecinan) sangat dekat. Mobil patroli tentara Belandapun jelas terdengar. Saat itu jauh sebelum matahari terbit operasi penyelamatan ini diharapkan selesai. Mbah Sapar menjaga dokar dan siap menarik tali kekang kuda, sementara yang lain menyebar mencari warga yang masih terjebak. Cukup lama tak satupun muncul kembali sementara matahari mengeluarkan cahaya.
Aaachhhh.
Senyum lebar mbah Sapar saat melihat Mardi membimbing seorang nenek, disusul Rambat yang menuntun dua anak perempuan. Tak seberapa lama, Mardi dan Atmo sama sama mengendong anak anak. Tinggal Kholili. Belum juga muncul. Suara beruntun tembakan dari arah sekitar pasar Jambu. Disusul berondongan tembakan sekitar Klentheng. Tembak menembakpun terjadi. Satu truk tentara dengan lengkap dengan sejata mesin dan mortir berhenti tepat tugu Wesi. Rambat segera membagi bagikan dinamit. Tentara tentara Belanda mulai memasuki jalan arah Pasar Mati yang berjarak sekitar 100 meter. Dinamit dengan sumbu yang sudah menyala dilembarkannya. Benar benar suara memekakkan telinga. Mesiu mortir Belanda bertubi tubi menghancurkan rumah. Mbah Sapar masih terus menahan tali kekang kuda. Rambat yang terlalu berani, mendekati terus melemparkan dinamitnya.
"Kholili...cepat", teriak Atmo yang melihat Kholili lari memegang tangan anak perempuan China. Hampir mendekati dokar Kholili tersungkur terembak punggungnya. Sianak China tadi dibopong Han Han dinaikkan dokar.
"Jalan mbahhh", teriak Atmo.
Mardi dan Han Han lari menolong Kholili.
"Mbaaahh jangan lewat situuuu", teriak Atmo keras sekali.
Terlanjur.
Mesiu mortir menghancurkan dokar berikut penumpangnya.
"Rambaaat munduuurrr", teriak Atmo berkali kali.

Kholili dipapah Mardi dan Han Han lari melewati dusun Gathak Krajan, diikuti Atmo yang terus menembakkan senjatanya. Rambat mengalihkan perhatian dengan lemparan dinamit menjauhkan teman temannya dari kejaran tentara Belanda.
"Aku gak papa, wis tinggalen ae", nyerocos terus Kholili dalam pelariannya meskipun darah keluar dari punggungnya tercecer dijalanan. Tak seberapa lama Rambat bergabung kembali. Tentara Belanda menghentikan pengejarannya. Menuju arah Gunung Sari menyeberangi sungai Blongkeng, perjalanan mereka teriring suara tembang Asmarandana yang dilantunkan mbah Sapar beserta gerong anak anak dan seorang nenek tembang lancaran dari alam "pandewan".

#bersambung.

Advertisement

Baca juga:

Blogger
Disqus
Pilih Sistem Komentar

Tidak ada komentar